TEROR SEPUCUK PISTOL
(A PISTOL TERROR -- PART TWO)
Indonesia short story by Ahmadun Yosi Herfanda
Malam itu Harjo mabuk berat karena terlalu banyak minuman keras dan makan jamur kotoran sapi yang sangat memabukkan. Tanpa sadar dia menggoda istri pemilik warung yang memang cukup cantik. Bahkan wanita muda itu sempat ditarik tangannya untuk diajak duduk di sebelahnya.
Tentu saja, suaminya tersinggung dan marah besar. Harjo diusir secara kasar. Namun, tiba-tiba dia mengeluarkan sepucuk pistol dari balik jaketnya, langsung menembakkannya ke arah pemilik warung itu. Pistol itu benar-benar menyalak, memecah keheningan malam. Untung tembakannya meleset karena dia mabuk berat. Kami (kebetulan kami berempat ke Parangtritis) langsung menubruk tubuh Harjo sebelum pistolnya menyalak lagi. Dengan cepat kami bisa mengamankan pistol itu. Untung tak ada yang lapor polisi, sehingga persoalan tidak berbuntut panjang.
Dan, persoalannya, kini dengan pistol yang sama, dia mengancamku.
“Jangan main-main dengan pistol itu. Aku akan berteriak keras-keras. Kalau tidak kaumasukkan lagi ke jaketmu, orang-orang kampung pasti berdatangan ke sini dan menyeretmu ke kantor polisi!”
“Ha! Rupanya kau takut mati juga, ya?!”
“Bukan takut mati, tetapi tidak ingin mati konyol di tanganmu. Apalagi hanya karena urusan perempuan. Malu aku! Cepat masukkan lagi pistolmu. Kalau tidak, aku akan berteriak!”
“Mengapa takut amat? Tenang saja! Aku tidak akan menembakmu!”
“Lalu, kenapa kau keluarkan pistol itu?"
“Sekali-kali mengeluarkan pistol tanpa bermaksud menembak, apa salahnya!”
“Tapi, wajahmu tampak keruh. Kau menyimpan maksud jahat terhadap seseorang.”
“Aku memang akan membunuh seseorang!”
“Siapa yang akan kaubunuh?”
“Kau tidak perlu tahu. Yang jelas, ini tidak ada kaitannya dengan perempuan. Malu, kan, membunuh hanya gara-gara perempuan!”
“Akan tetapi, soal Tarmi kau jangan salah paham, lho! Demi Allah, aku tidak ada apa-apa dengan dia. Sebagai tetangga aku hanya kasihan melihat dia sendirian menunggu bus di bawah gerimis. Saya kira tidak apa-apa hanya memboncengkan dia sampai di tempat kosnya. Kemarin dia ke sini juga cuma minta maaf soal peristiwa itu.”
“Mau kaupacari juga tidak apa-apa. Mau kaukawini sekalian juga tidak apa-apa. Buat apa perempuan murahan macam dia!”
“Jangan begitu, Jo. Demi Allah, aku sama sekali tidak berminat pada dia!”
“Oke! Sementara ini aku percaya padamu. Akan tetapi, ada persoalan yang harus kuselesaikan malam ini!”
Harjo memasukkan pistol ke balik jaketnya, lantas berjalan terburu-buru menuju motornya. Aku masih was-was. Jangan-jangan dia mau menembak Tarmi.
“Hai! Siapa yang akan kaubunuh, Jo? Awas, lho, kalau melibatkan aku!”
Harjo tidak menyahut. Ia langsung menerbangkan motornya. Suara knalpotnya memecah kesunyian kampung. Aku buru-buru mengeluarkan sepeda motorku dan memburunya ke tempat kos Tarmi. Aku tidak tega juga membiarkan gadis desa itu mati konyol di tangan seorang bajingan.
Dari jauh tampak motor Harjo diparkir di tepi gang, di depan tempat kos Tarmi. Aku memarkir motorku sekitar dua puluh meter dari motornya. Aku mengendap-endap di balik pagar untuk melihat apa yang akan dia lakukan. Kulihat dia sedang mengetuk-ngetuk pintu kamar Tarmi. Aku makin khawatir, dia benar-benar akan menghabisi gadis itu dengan pistolnya.
Beberapa saat kemudian pintu kamar Tarmi terbuka. Tampak gadis itu muncul di pintu. Mereka kemudian terlibat pembicaraan serius. Bahkan kemudian bertengkar seru. Harjo menampar wajah Tarmi. Tarmi membalas menampar pipi Harjo. “Gawat!” pikirku. Aku berpikir keras untuk mencari cara menyelamatkan gadis itu. Untunglah, beberapa detik kemudian dari mulut gang muncul tiga pemuda kampung yang sedang siskamling. Mereka menghampiri Harjo dan menegurnya. Bekas preman itupun pergi meninggalkan Tarmi. Aku kembali ke kamar kosku dengan perasaan sedikit lega. Aku mencoba tidur dengan tenang.
Akan tetapi, baru beberapa menit membaringkan tubuh, Harjo sudah datang lagi mengetuk pintu. Aku agak kaget.
“Mau apa, Jo?” tanyaku setelah membukakan pintu.
“Aku akan numpang tidur di kamarmu. Boleh, kan!”
“Mengapa tidak tidur di kamarmu sendiri?”
“Aku diusir.”
“Mengapa?”
“Tiga bulan tidak bayar kos!”
Harjo mendesak masuk dan langsung membaringkan tubuhnya ke kasur yang kugelar di lantai. Aku tidak bisa mencegahnya. Rupanya dia sedang menjadi ‘burung yang kehilangan sarang’. Barangkali tadi ia mencoba untuk tidur di kamar Tarmi. Akan tetapi gadis itu menolaknya, sehingga terjadi perang mulut. Kasihan juga lelaki ini. Akan tetapi, bagaimana dengan pistolnya? Aku menjadi was-was lagi. Siapa tahu, dia benar-benar akan menembakku ketika aku sedang mendengkur?
Aku mencari akal untuk merebut pistol itu dari tangannya. Begitu dia tampak tertidur pulas, aku mencoba menggagahi jaketnya. Akan tetapi, baru menyentuhnya saja dia terbangun. Aku cepat-cepat memejamkan mata, pura-pura tidur pulas di sampingnya.
Pagi harinya, di luar dugaan, dia melepas jaketnya untuk mandi, tanpa membawa pistolnya. Barangkali dia sudah melupakan benda itu. Begitu dia masuk kamar mandi, aku menggagahi jaketnya dan langsung menemukan pistol itu. Akan tetapi, aku sangat terkejut. Pistol itu ringan sekali. Kuamati dengan seksama. Ternyata pistol plastik. “Diamput!” umpatku.
Buru-buru kuambil bensin dari motorku. Pistol sialan itu kuletakkan di bawah pagar tembok halaman, kutuangi bensin, kuludahi dan kubakar. Pistol itu meleleh jadi segumpal arang plastik.
Begitu selesai mandi, Harjo mencari pistolnya.
“Mana pistolku?!
“Itu! Kubakar!”
Harjo memungut bangkai pistolnya yang masih berasap, memeriksanya sebentar, lantas membantingnya sambil mengumpat-umpat.
Dengan mata menyala, ia masuk ke kamarku, dan setelah memakai jaketnya ia melangkah pergi ke motornya, berhenti sebentar, dan berbalik melangkah ke arahku, lalu berbalik lagi ke motornya, dan kembali ke arahku, seperti sedang galau berat. Dan, pada jarak sekitar tiga langkah, tiba-tiba ia melolos sesuatu dari pinggangnya, lantas menodongkannya ke arahku. Sialan, rupanya ia masih punya pistol yang lain.
"Aku tidak main-main. Aku benar-benar akan membunuh orang malam ini!" katanya dengan mata membara.
Dan, tiba-tiba, "dorrr!", pistol itu benar-benar menyalak, tepat ke arahku. Ada sesuatu yang terasa menyerempet pundakku. Aku terhuyung ke belakang. Samar-samar kulihat Harjo kabur dengan motornya, meninggalkan asap dan derum knalpot yang memekakkan telinga!***
Foto diambil dari:
http://www.radioguemes.com.ar/detNot.php?view=8843&i=&x=e
👍👍👍👍👍👍👍
Tks, Puan
Terror itu menakutkan. Untungnya ini hanya fiksi...
Jadinya, fiksi yang menakutkan....
Akhir yang konyol bang, haha. tidak teliti memeriksa pistol😂😂😂
Ha ha ha.... kena siasat Harjo dia. Kasihan....
Akhirnya benar-benar kena dia. Ah Harjo,Harjo.
Untung peluru Harjo hanya menyerempet pundaknya ya....
Harjo... Harjo...
Harjo di mana kamu
waduh, near death experience..
Semoga dpt diselamatkan
Tuh kan. Jadi dor juga.
Lanjutkan mas biar jadi serial Harjo
Ya ya. Potensial jadi novel. Ntar kalo ada waktu aku lanjutin deh ya. Tks Iwank.
Kata "door" nya terngiang terus nih.
Ya ya. Namanya juga teror. Jangan sampai terbawa mimpi.... ya
Salam kenal pak @ahmadunyh atas cerpennya