Review Acehnologi (III: Jejak Spirit Aceh)

in #indonesia6 years ago


Harus di akui bahwa topik mengenai spirit, akan mengiring kita pada konteks sejarah Aceh. Namun, begitu kita meloncat pada sejarah budaya Aceh maka sampai saat ini kontruksi identitas ke-Aceh-an masih mengandung sejumlah perdebatan. Akan tetapi ketika mendiskusikan kebudayaan Aceh, maka ada tiga hal yang mutlak harus di pahami yaitu bahasa, sejarah, dan tradisi Aceh. Di sini kata spirit menjadi kunci bagaimana orang Aceh mampu mensinergikan nilai-nilai perjuangan dan kebudayaan, sebagai contoh ketika Aceh melawan Belanda para ulama mengambil perang sabil sebagai spirit perjuangan.

Di katakan dalam buku Acehnologi volum III halaman 759 sejauh ini fungsi spirit Aceh memang tidak lagi meghasilkan sistem berpikir dalam kehidupan kebudayaan Aceh. Hal ini, sesuatu yang bersifat spirit Aceh tidak mampu diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan nyata masyarakat. Sehingga spirit Aceh seolah-olah telah tenggelam di telan masa. Walaupun pada dataran fenomena, pusat-pusat yang memberikan kekuataan spirit tersebut masih dapat di lihat secara real. Misalanya, istilah krue adalah istilah yang abstrak. Bagi petani istilah ini mengacu pada angin. Bagi yang memberikan seumangat istilah krue adalah memberikan kembali kekuatan untuk hidup dengan penuh semangat. Di dalam tarian istilah krue boleh jadi lantunan syair mendapatkan reespon dari yang mendengarkan. Praktik ini terus berjalan hari ini di dalam ruang kehidupan masyarakat Aceh.

Spirit pembangunan Aceh saat ini adalah melalui ilmu pengetahuan. Artiannya, struktur berpikir masyatrakat Aceh pada zaman toempo doeloe sangat bisa di ukur dan dapat dianggap sebuah legasi kebudayaaan yang sangat mapan. Sebab, dalam tradisi berkerajaan semua potensi akal dan jiwa di kerahkan untukmengatur negeri. Negara kemudian di atur menurut tata cara bagaimana memahami alam yang tidak boleh berbenturan satu sama lain. Aturan-aturan tidak boleh berbenturan ini kemudian pada tingkat tertentu diatur dalam nasihat para tetua Aceh yang dikenal dengan sebutan hadih maja.

Di Aceh upaya untuk menggali aspek keilmuan dan falsafah kehidupan orang Aceh masih belum begitu mencuat ke permukaan. Sehingga warisan dan simbol yang penuh dengan nuansa keilmuan dari sultan dan ulama sering di pandang sebagai warisan kebudayaan yang bersifat simbolik semata . artinya untuk mendalami aspek spirit orang Aceh, pemahaman terhadap cara pandang ke-aceh-an mutlak di perlukan. Aspek spirit ini dikalangan masyarakat Aceh agaknya hanya dpat ditemukan pada tingkat pemahaman mereka terhadap Islam. Sehingga, terkadang untuk memahami orang Aceh agama Ialam harus dilibatkan. Namun ketika memahami falsafah dan spirit ke-aceh-an ada hal-hal yang bersifat kosmologis yang hanya dapat di pahami jika kita bisa memahami cara pandang atau dunia Aceh.
Hilangnya otoritas kesultanan di Aceh telah menyebabkan kehilangan spirit kekuasaan di Aceh. Upaya untuk mengambil spirit ini pernah dilakukan oleh tgk. Hasan di Tiro sejak tahun 1976. Dia selalu merujuk pada sejarah Aceh sebagai bagian dari upaya membangkitkan spirit perjuangan. Namun, posisi ulama sendiri tidak begitu jelas , sehingga sejak konflik tahun 1976 sampai 2005 perjuangan tgk. Hasan ditiro dianggap sebagai “separatis” oleh pemerintah indonesia, namun tidak sedikit perjuangan ini yang menjadi orang Aceh sebagai target perasi untuk pisah dar NKRI.

Pada halaman 771 dapat simpulkan pertama, membuka kembali kajian mengenai spirit di Aceh adalah sesuatu yang amat menarik. Kedua sampai saat ini, kesultanan Aceh telah hilang otoritas dan kewenangannya. Dari potensi ini hanya mncul simbol-simbol kerajaan yang sekarang dialaihkan menjadi aset kebudayaan Aceh. Dan yang ketiga bergesrnya spirit atau konteks kebudayaan Aceh juga mengejutkan maksudnya, keinginan energi positif untuk membangun Aceh lebih banyak ditentang dengan prilaku orang Aceh sendiri yang cenderung memiliki energi negatif.