Review Acehnologi (II:21 Politik Aceh)
Kali ini saya akan mereview kembali buku acehnologi volume dua pada bab terakhir yang berjudul Politik Aceh. Berbicara tentang politik tentu hal yang sangat sering di dengar pada saat ini apa lagi sekarang memang merupakan tahun politik untuk menuju punjak politik pada tahun 2019, disini kita tidak akan membahas politik Nasional kita hanya akan membahas Politik di Aceh dan bagaimana sejarah dari politik Aceh itu sendiri. pada dasarnya politik di Aceh sudah ada sejak zaman kerajaan terdahulu hingga berkembang sampai sekarang.
Sejauh ini, diskusi mengenai Aceh tidak dapat di lepaskan dari praktik politik yang di lakukan oleh orang Aceh. Dalam narasi sejarah Aceh, praktik politik oleh orang Aceh dapat di telaah sejak pendirian beberapa kerajaan di pulau Ruja mulai dari perulak dan lamuri hingga ke kerajaan Aceh Darussalam. Saat ini, hanya Aceh yang memiliki partai politik lokal hanya Aceh pula yang memiliki rujukan di dalam melaksanakan tata pemerintahan. Sistem pengelolaan daerah atau nanggroe juga memiliki unsur pemerintahan yang juga berasal dari tradisi berpolitik Aceh. Di samping itu, Aceh juga memiliki rujukan-rujukan bagaimana kekuasaan di jalankan, tidak hanya itu dari sisi ideologi, kajian politik Aceh dapat melihat bagaimana proses Islamisasi, westernisasi, Indonesiasasi yang berlaku di dalam lintasan sejarah Aceh.
Pasca 2005, literatur politik Aceh mendapatkan tempat yang amat besar di dalam diskursus ke-Aceh-an, setelah wacana mengenai Sejarah Aceh. Tidak sedikit sarjana luar negeri memotret Aceh dari prepektif ilmu politik, namun sayangnya tidak ada karya yang komprehensif membahas apa dan bagaimana yang di maksud dengan politik Aceh. Pada halaman 696-702 buku acehnologi volume dua dikatakan untuk memudahkan memahami pemikiran politik Aceh terbagi ke beberapa fase.
Fase pertama, saat terjadi proses Islamisasi dan pendirian beberapa kerajaan Islam di pulau Ruja. Era ini di tandai dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang pesisir pulau Ruja, yang juga di tandai dengan saling menyerang antara setiap kerajaan (VIII-XIV M). Kedatangan Islam ke pulau Ruja terjadi pada abad ke-8 M. Artefak sejarah yang ditemukan di dalam sejarah kerajaan peurulak menunjukkan bahwa Islam datang pada abad ke-13 M.
Fase kedua, dapat dikatakan sebagai era pendirian dan kejayaan kesultanan Aceh Darussalam pada 1203 M. Dalam fase inilah karya-karyabesar ulama di Aceh lahir untuk menopang kerajaan. Pada masa tersebut, rakyat Aceh menemukan momentum kekuatan politik tidak hanya di nusantara tetapi pada level Internasional, letak yang cukup strategis yang di topang dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Aceh di pesisir Aceh.
Fase ketiga, fase kolonialisasi I dimana terjadi saat Aceh menghadapi penjajah Belanda pada tahun 1873 hingga kejatuhan istana kerajaan Aceh Darusslam di Banda Aceh, yang kemudian dilanjutkan oleh para ulama. Ketika proses transferkekuasaan berlangsung dari “kelompok istana” ke “kelompok ulama” memberi tanda bahwa para ‘ulama’ telah memerankan fungsi mereka tidak lagi secara agen intelektual, tetapi juga sebagai agen perjuangan rakayat Aceh.
Fase keempat, fase kolonialisasi II adalah saat para ulama dan pejuang Aceh menghadapi Belanda hingga kedatangan jepang pada tanggal 12-13 Maret 1942. Dalam fase ini, hampir bersamaan dengan fase “penyatuan” Aceh dengan Indonesia.
Fase kelima, fase Revolusi I ditandai dengan pergolakan sosial politik yang dimotori oleh PUSA. Ini merupakan kebangkitan para ulama Aceh di dalam mengatur diri mereka sendiri. cikal bakal PUSA telah memberikan spirit perjuangan dan keterlibatan ulama tidak hanaya di bidang sosio-religi, tetapi juga di dalam sosial politik dan kebudayaan.
Fase keenam, fase Revolusi II adalah perang Cumbok. Revolusi sosial ini telah menciptakan disintegrasi sosial antara kaum bagsawan dan kaum intelektual yang ada di Aceh. Dampaknya adalah peran kaum bangsawan di Aceh mulai mengundur
Fase ketujuh, fase separatisasi I terjadi ketika peristiwa DI/TII di bawah pimpinan Tgk. Abu Daud Beureueh pada 21 september 1953. Gerakan ini merupakn titik balik kesadaran Islam dan politik yang di praktikkan oleh orang Aceh.
Fase kedelapan. Fase Integrasi I ketika pemerintah Indonesia berusaha keras untuk mempertahankan Aceh sebagai bagian dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Upaya ini di lakukan setelah upaya penangkapan pemimpin DI/TII Aceh yang kemudian pemerintah Indonesia mulai melancarkan propaganda politik, agar Aceh tetap menjadi bagian dari NKRI. Dalam fase ini beberapa pejuang DI/TII ada yang menjadi syuhada dan ada pula yang “tiarap”, serta keluar dari Aceh menuju Malaysia.
Fase kesembilan,fase separatisasi II ketika Dr. Tgk. Hasan Di Tiro ingin memisahkan Aceh dari RI melalui pendirian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 1976. Dalam fase ini musuh utama adalah pemerintah RI yang dipersonalisasikan sebagai “pemerintah Jawa” namun , gerakan ini memanfaatkan jringan Internasional untuk mendukung perjuangan di Aceh. Dapat di katakan disini GAM memanfaatkan asing untuk melawan “asing” (etnik jawa).
Fase kesebuluh, Integrasi II ketika Gerakan Aceh Merdeka menerima tawaran damai dari pemerintah Republik indonesia pada 15 Agustus 2005 disini peran asing di mainkan untuk melakukan proses perdamaian di Aceh. Disini para aktornya adalah mantan eksponen GAM beserta kombatannya, mereka melibatkan diri dalam pembangunan Aceh. Setelah damai dengan pihak NKRI, GAM mengfungsikan diri mereka sebagai aktor di dalam bidang legislatif dan eksekutif. Hingga 10 tahun lebih GAM telah di terima kembali bagian dari NKRI. Mereka menjadi aktor utama dalam pentas politik Aceh dan terbentuklah lembaga Wali Naggroe yang menempatkan Malik Mahmud sebagai Wali Naggroe abad ke-21 di Aceh dan mereka juga menguasai pimpinan puncak di Aceh selama dua periode kepemimpinan di Aceh, yaitu Irwandi - Muhammad Nazar dan Zaini Abdullah - Muzakir Manaf.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan politik Aceh memiliki lanskap yang amat panjang, mulai dari abad ke-8 sampai abad ke-21 M, dalam retang waktu 13 abad lamanya tanah Aceh menjadi saksi berbagai peristiwa politik berlaku. Di balik itu juga, darah dan penderitaan Aceh juga telah memperkuat dugaan, tidak ada provinsi di Indonesia, yang memiliki pengalaman kekerasan seperti yang pernah terjadi di Aceh.