Review Acehnologi (II:17 sosiologi Aceh)
Kali ini saya akan mereview kembali buku Acehnologi volume dua pada bab sosiologi Aceh, satu kata yang bisa saya ucapkan ketika membaca bab ini yaitu WOW. Bagimana saya tidak terkejut, saya merasakan bahwa selama ini saya tidak terlalu paham tentang sosiologi bahkan jika saya tidak membaca bab ini mungkin saya tidak akan benar-benar paham apa yang di maksud dengan sosiologi itu sendiri. ternyata ilmu sosiologi ini mempunyai sejarah dan cerita yang panjang, dan sosiologi sendiri mempunyai teori-teoritikus yang di kenal di dunia. Yang membuat saya terkagum-kagum dan terkaget-kaget terhadap teoritikus sosiologi ini adalah dimana menurut saya mereka menuangkan pemikiran-pemikiran tentang sosiologi ini dengan cara yang keren.
Dalam sosiologi yang menjadi “Bapak Sosiologi” adalah Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber ketiga orang inilah yang meletakkkan fondasi dasar ilmu sosiologi. Teori-teori ilmu sosial dari pemikiran Marx di pengaruhi oleh pemikiran Hangel dalam bidang filsafat, Feurbach dalam bidang agama, Adam Smith dan Ricardo dalam bidang ekonomi. Dalam konteks sosial Marx sering menjadi “saksi sejarah” atau “pelaku sejarah” terhadap kebangkitan atau revolusi sosial di Eropa khususnya di Paris dan Jerman. Yang menarik Marx selalu merespon yang dia tekuni dan fenomena sosial dalam bentuk tulisan. Sehingga memahami sosiologi dari teori-teori Marx harus di barengi dengan pemahaman bagaimana konteks sejarah kehidupan Marx yang selalu berpindah-pindah dari satu setting sosial ke setting sosial lainnya. Sebagaimana Marx, kehidupan Durkheim juga tidak jauh berbeda, namun Durkheim lebih menyajikan pemikiran di kampus ketimbang Marx sebagai seorang intelektual-aktivis. Namun karya-karya Durkheim memberikan landasan pemikiran tentang kenyataan sosial, pemikiran Durkheim kemudian melahirkan aliran Fungsionalisme, peristiwa yang terjadi ketika Durkheim hidup adalah kekacauan politik, persaingan kelas, revolusi anti Semit, korupsi di kalangan militer, dan perang.
Pandangan sekilas tentang Marx, Durkheim, dan Weber di atas bukanlah ingin mencari teori-teori ilmu sosial dari mereka, melainkan ingin melihat apa saja yang mempengaruhi kajian sosiologi. Ilmu sosiologi sebenarnya tidak lain adalah mempelajari apa saja yang terjadi di masyarakat urban walaupun kemudiaan ada sosiologi yang mempelajari apa saja gejala sosial di kalangan masyarakat pedesaan. Pada awalnya ilmu sosiologi lebih memainkan perannya di kota ketimbang di desa, sedangkan di desa atau di kawasan pedalaman, ada ilmu lain yang di gunakan yaitu antropologi.
Pada halaman 493 buku Acehnologi volume dua di jelaskan sosiologi lahir ketika ada beberapa peristiwa yang saling terkait, paling tidak ada lima kekuatan besar yang memunculkan kelahiran ilmu ini. Peratama, dampak revolusi perancis pada 1789 di mana memunculkan para teoritikus untuk merumuskan pengaruh-pengaruh dari peristiwa tersebut, mereka berupaya menata kembali masyarakat peristiwa tersebut dengan teori-teori ilmu sosial. Kedua, Revolusi industri dan kapitalisme proses berjuisasi masyarakat barat ini telah memaksa para teoritikus untuk menemukan teori dari perpindahan masyarakat petani pada masyarakat industri yang di gerakkan oleh mesin dan uang yang berbuah pada kapitalisme. Ketiga, kemunculan sosialisme walaupun ini melahirkan pemikiran komunis, tetapi yang paling sering di munculkan adalah sosialisme muncul dari akibat revolusi industri. Keempat, proses urbanisasi yang terjadi akibat revolusi industri dimana masyarakat ramai-ramai menyrbu kota untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sehingga ketika terjadi “masyarakat baru masuk kota” perlu sebuah tatanan yang lebih baik. Kelima, keempat proses tersebut ternyata telah memiliki pengaruh pada religiusitas masyarakat Barat. Karena itu hampir semua teoritikus awal sosiologi memiliki perhatian yang amat mendalam pada kajian agama dalam kehidupan sosial. Jadi lima hal inilah yang melahirkan teori-teori dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi, artinya ada gerakan dari masyarakat Barat terutama dalam hal mencari penghidupan yang lebih baik, mereka menganggap kota adalah impian hidup.
Dan ternyata konstribusi Aceh terhadap kajian sosiologi tidak begitu kuat jika dibandingkan dengan kajian Antropologi dan sejarah Aceh. Hal ini di karenakan dominasi kajian mengenai penjelasan ke-Aceh-an lebih banyak di tonjolkan melalui prespektif sejarah dan antropologi. Karena itu upaya untuk menemukan bagaimana konsep sosiologi Aceh tidaklah mudah mengingat ranah sosiologi lebih banyak melihat apa yang terjadi di kawasan urban yang sudah mengalami proses modernisasi, dengan kata lain mengkaji sosiologi mengharuskan penstudinya untuk paham mengenai bagaimana arus modernisasi yang melanda suatu kawasan.
Penjelasan mengenai Aceh lebih banyak di kaji atau di analisis menurut teori-teori ilmu sosial dan humaniora dari Barat. Karenanya, tampilan Aceh cenderung harus masuk di dalam framework cara berpikir yang bersifat Eropa dan Amerika sentris. Sejak tahun 1974, di Banda Aceh telah di laksanakan pelatihan ilmu-ilmu sosial yang di danai oleh pihak Internasional (the ford foundation) terhadap peneliti-peneliti dari Indonesia tidak terkecuali dari Aceh. Saat itulah pendekatan dari ilmu sosial mulai di jadikan sebagai alat untuk mengamati Aceh dan daerah lainnya di Indonesia, agaknya belum ada upaya sistematis untuk mengamati Aceh secara sosiologis. Di Aceh sendiri hampir dapat di katakan tidak ada fakultas atau jurusan yang mengkhususkan pada kajian ilmu-ilmu sosiologi dan antroppologi kecuali setelah era 2000-an.
Dari uraian yang telah saya paparkan di atas muncullah pertanyaan di dalam buku Acehnologi volume dua bab sosiologi Aceh dimana dikatakankan bahwa apakah kita akan menemukan model studi sosiologi Aceh, jika saja pendidikan ilmu-ilmu sosial, tidak begitu mencuat di Aceh. Terlebih lagi, apakah kita perlu memahami tradisi ilmu sosiologi di Barat, untuk menopang berdrinya sosiologi Aceh. Seorang sosiolog, tentu saja akan di paksa untuk masuk pada ranah ilmu ini dengan dengan memasuki dunia teori-teori sosiologi yang berkembang, sejak ilmu ini di bina di Eropa serta berkembangnya hingga saat ini. Tentu saja kerumitan akan di jumpai, mana kala hal tersebut dilakukan, khususnya jika sang pengkaji masih mengikat dirinya pada kekhawatiran-kekhawatiran ideologis, yang di temukan sebagai dampak penjelajahannya di dalam tradisi pencerahan di Eropa. Para sosiologis cenderung nyeleneh di dalam menafsirkan gejala sosial, hingga terkadang bertabrakan dengan keyakinan-keyakinan umum yang di pahami oleh masyarakat.
Hal inilah yang kemudian memberikan tugas bagi kita dalam membina sosiologis Aceh, yaitu apakah ada peristiwa-peristiwa seperti di Eropa, hingga melahirkan ilmu ini di Aceh? Demikian pula, apakah ada para pemikir-pemikir sekeliber Marx, Weber, dan Durkheim di Aceh? Apakah ada school of thought di Aceh yang sudah berdiri kokoh sebagaimana di Jerman dan Amerika? Tentu saja, sangat boleh jadi, tidak ada yang mampu disaingi oleh Aceh, di dalam pembinaan teori-teori ilmu sosial di Eropa. Dengan begitu, tampaknya terlalu dini untuk membangun fondasi keilmuan dalam ranah sosiologi Aceh.
Setidaknya pada halaman 548 buku acehnologi volume dua di katakan ada tiga hal yang perlu di gali ketika sosiologi Aceh ingin dimunculkan. Pertama, menemukan kembali ruang imajinasi sosial yang bersifat keAceha-an. Kedua, menemukan kembali ruang yang aktif dan progresif dalam bidang ruang kesadaran sosial masyarakat Aceh. Ketiga, perlu juga di cari lagi bagaimana format ruang kebatinan masyarkat Aceh, yang kemudian memberi pengaruh pada ruang sebelumnya, tiga hal inilah yang mungkin dapat membantu untuk membangkitkan spirit kajian sosiologis Aceh. Sebab, tiga ruang tersebut telah berjasa dalam menemukan identitas ke-Aceha-an di dalam konteks kekinian.