Kelapa muda dan pemberdayaan ekonomi yang pura-pura
Kebanyakan dari kita mungkin sudah sering minum kelapa muda segar di seputaran Blang Padang, khususnya di jalan imam bonjol, di samping sebuah gedung pemerintah yang sejak era jambul khatulistiwanya Syahrini hingga sampai masanya Dilan, tak kunjung juga tuntas pembangunannya. Nah tepat di samping gedung yg saya tidak tau namanya inilah berjejer rentetan pedagang kelapa muda itu. Harga kelapa di sini ekonomis, cuma tujuh ribu rupiah sekali minum.
Biasanya, kedai kelapa muda ini tak pernah sepi pengunjung. Mulai dari orang kecil sampai orang besar, bahkan mungkin walikota sendiri, sampai pasangan yang sekadar bersantai ria, kerap melepaskan dahaganya di sini. Para pedagang sudah berjualan di tempat ini sejak lama, sejak tahun berapa sudah lupa, mungkin di dinas Koperasi dan UKM ada datanya. Saking lamanya, para penjual kelapa ini sudah mewariskan kedai berikut dengan skillnya dari generasi ke generasi. Pemilik kedai tempatku membeli misalnya, masih muda meski tak muda-muda amat, kukira ia masih jomblo. Sadar sedang disorot kamera tetiba ia seperti memamerkan skill membelah kepala, eh kelapa. Kecepatannya menyiapkan kelapa memang tak tertanggungkan. Seperti sirkus saja.
Dulu, kedai-kedai ini hanya terdiri dari bangunan kayu yang disekat oleh terpal dan beratapkan terpal pula. Hingga beberapa waktu lalu, pemerintah datang merevitalisasi tempat ini. Meskipun demikian, kehadiran pemerintah dengan segudang visi-misi pemberdayaan ekonominya, ternyata masih saja belum berhasil menyulap tempat ini menjadi tempat yang lebih layak dan nyaman.
Pemerintah hanya mengubah dan membangun bangunan kedainya saja, namun absen dalam membuka paradigma ekonomi-wisata halal kepada para pedagang ini. Atau memang konsep pemberdayaan ekonomi pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Kota Banda Aceh hanya bersifat artifisial belaka.
Maksud saya, saya tidak melihat adanya i'tikad pemerintah untuk turun serta menangani hal-hal yang dikesankan sepele namun amat menentukan, seperti faktanya, bahwa kedai-kedai ini berdiri diatas drainase, dan ini menyalahi aturan, belum lagi ketika musim kemarau tiba, debit air menyusut, maka drainase akan mengeluarkan aroma tak sedap. Baik dilihat dari kacamata agama maupun kesehatan, kedai-kedai ini masih termasuk dalam kategori kurang bersih. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya tong sampah penampung ampas kelapa, lantai dan meja tempat penyajiannya kurang hiegenis. Tentu, kita tidak bisa menyalahkan para pedagang ini. Pemerintah sepenuhnya bertanggung jawab dalam memberdayakan ekonomi masyarakat secara kaffah, termasuk memperbaiki mental dan cara berdagang, yang dalam konteks ini agar mengikuti standar agama dan kesehatan. Jika tidak demikian, mungkin keinginan menjadikan Banda Aceh sebagai kota wisata halal hanyalah mimpi di siang bolong. !
Wee need smart program for economic growth particularly to small business such as penjual kelapa di blang padang also hygine base business education that extremely important to improve to better small business. Btw. Edisi pengantin baru dilirik penjual kelapa.hehe
I think so.
Pengantin baru lagi pingin kelapa bang akmal. 😂😂 @akmal007