Mengenal Samarinda Ibukota Kalimantan Timur/ Samarinda Capital of East Borneo

Indonesian//////////////........./////////

Pernah dengar Kota Balikpapan? Pasti lah.. Pernah dengar Pulau Bali? Apalagi.. Pernah dengar Kota Malang? Pasti juga..
Kota Samarinda? 30% pasti menjawab “dimana tuh?”
Kerap kali ane membuat trit pasti ane akhiri dengan hastag #SalamDariSamarinda, rasa sesak didada ketika ada yang menanyakan apa itu Samarinda? Dimana itu? Ada apa disana? Kok bisa jadi Ibukota? Kelebihan kotanya apa? Wisatanya apa? Suku mayoritasnya apa? Disana kaya-kaya kah orangnya?
Ya memang sebagian dari agan paling tidak pernah menanyakan hal tersebut. Mungkin ditrit ini ketidaktahuan agan akan terjawab.

Sejarah – Samarinda yang dikenal sebagai kota seperti saat ini dulunya adalah salah satu wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Di wilayah tersebut belum ada sebuah desa pun berdiri, apalagi kota. Sampai pertengahan abad ke-17, wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan persawahan dan perladangan itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan sungai Karang Asam.

Pada tahun 1668, rombongan orang-orang Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai. Mereka hijra ke luar pulau hingga ke Kesultanan Kutai karena mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh pasukan Belanda. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.

Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.

Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).

Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.

Ok sampai sini dulu besok kita lanjut lagi...

English/////////////.........///////////

Ever heard of Balikpapan City? Surely lah .. Ever heard of Bali Island? Moreover .. Ever heard of Malang? Definitely also ..
Samarinda City? 30% would answer "where?"
Often ane make a trit definitely ane end with hastag # Regards from Samarinda, feeling crowded when there is someone asking what is Samarinda? Where is it? What is going on over there? How could it be the Capital? What city's advantages? What is the tour? What's the majority tribe? Are there rich people?
Yes indeed most of you do not ever ask that. Perhaps this ditrit of ignorance will be answered.

History - Samarinda known as the city as it once was one of the Kutai Kartanegara ing Martadipura Sultanate. In the region there has not been a village standing, let alone the city. Until the mid-17th century, the area of ​​Samarinda is a field of rice fields and some farmers. The fields of rice fields and cultivation are generally concentrated along the banks of the Karang Mumus and Karang Asam rivers.

In 1668, a group of Wajo Bugis people led by La Mohang Daeng Mangkona (title Pua Ado) migrated from the land of Gowa Sultanate to Kutai Sultanate. They hijra out of the island to the Sultanate of Kutai because they do not want to submit and obey the Bongaya Agreement after Gowa Sultanate lost due to attack by Dutch troops. The arrival of Bugis Wajo people from the Kingdom of Gowa was well received by Sultan Kutai.

On the agreement and agreement, Raja Kutai entourage was given the location around the village floor, a lowland area that is good for agriculture, fishery and trade. In accordance with the agreement that the Wajo Bugis people must help all the interests of King Kutai, especially in the face of the enemy.

All of the groups chose the area around the Karang Mumus estuary (the opposite Selili area) but this area caused difficulties in the voyage due to the swirling area with many river droppings. In addition to the background of the mountains (Mount Selili).

Around 1668, the Sultan of the Kingdom of Kutai ordered Pua Ado with his followers from Sulawesi to open a settlement in Tanah Low. The opening of the village is referred to as Sultan Kutai, as a defensive area of ​​pirate attacks from the Philippines who often do robbery in various coastal areas of Kutai Kartanegara. In addition, this wise sultan was intended to provide a place for Bugis people who seek asylum in Kutai as a result of war in their hometown. The settlement by Sultan Kutai was named Sama Rendah. This name is certainly not the origin of the call. Equally Low is intended that all residents, both native and immigrant, are equal. There is no difference between Bugis, Kutai, Banjar and other tribes.