Sepatu

in WhereIN2 months ago

Awalnya saya hanya tahu dari cerita emak

nenek tunadaksa yang merawat saya sejak kecil, jika saya memiliki seorang kakak laki-laki dari pernikahan bapak sebelumnya.

Tapi hari itu, bapak datang. Bersama seorang anak laki-laki yang harus saya panggil "aa"
Saat itu saya kelas 5 SD. Mau naik ke kelas 6.

Aa sama seperti saya.Tidak tinggal dengan bapak.Tapi diasuh oleh neneknya juga karena ibunya aa menjadi TKI di Arab Saudi.
Saya dan aa memang baru pertama bertemu tapi saat bertatapan, saya tahu nasib kami, sama.

Hari itu, bapak bertanya:
apa yang saya butuhkan?
Tapi belum sempat menjawab, bapak sudah melihat sepatu saya yang menganga. Sobek disana-sini.

Ukuran sepatunya nomor berapa?
Tanya bapak.
Saya hanya terdiam.Tidak tahu harus menjawab apa karena selama ini, baik ibu maupun emak, selalu membelikan sepatu yang ukurannya jauuh lebih besar dengan alasan supaya awet.
Padahal sepatu yang sangat longgar, dengan tali yang sangat kencang supaya tidak copot, dipakai berjalan berjam-jam itu, bukan hanya tidak nyaman, tapi juga membuat kaki sakit dan pegal. Terlebih jalan yang harus saya lalui ke sekolah SD adalah jalanan tanah gundul yang kalau hujan turun sangat licin dan tanahnya menempel di sepatu.
"Jeblog" kalau kata anak-anak di kampung kami.

Karena tidak tahu ukuran sepatunya nomor berapa, akhirnya bapak meminta saya mengeluarkan kertas dan pensil dari tas yang seletingnya juga sudah jebol.Rusak karena dipakai sejak kelas 1 SD dan tak pernah diganti dengan yang baru.

Saya diminta bapak berdiri diatas selembar kertas lalu bapak menggambar kaki saya diatasnya dengan pensil. Katanya itu yang akan menjadi ukuran sepatu baru untuk saya.

Saat itu, untuk sejenak saya merasa begitu bahagia. Selain karena bertemu bapak setelah bertahun-tahun lamanya, juga bisa bertemu aa. Bapak juga menjanjikan sepatu baru. Dan tas sekolah.

Hari berganti.
Minggu berlalu.
Bahkan hitungan bulan terus bertambah dan bilangan tahunpun sudah berubah.

Tapi sepatu baru itu belum kunjung datang.
Begitu juga dengan tas sekolah baru yang dijanjikan.

Sejak saat itu, saat melihat sepatu satu-satunya yang bertambah rusak dan nganganya bertambah besar bahkan hampir copot itu, saya jadi selalu teringat janji bapak.
Hingga suatu hari, sepulang sekolah, karena hujan dan sepatu saya basah, emak meminta saya untuk mengeringkannya diatas tungku kayu bakar seperti biasa.

Sambil memandangi sepatu itu, tetiba air mata saya mengalir deras hingga terisak-isak. Lalu emak yang baru datang ke dapur setelah sholat ashar pun, merangkul saya.Tanpa kata-kata.

Esoknya, sepulang sekolah, saya melihat sebuah kotak di samping meja di ruang tamu.
Sebuah kotak sepatu. Saya membukanya dengan berdebar-debar.
Dan benar saja, isinya sepatu baru!

Awalnya saya mengira ini kiriman dari bapak, tapi saat melihat emak yang tak lagi memakai anting-anting, saya tahu sepatu ini pemberian siapa.
.
Sejak hari itu saya berjanji, tidak akan menyakiti diri saya lagi dengan berharap pada "seseorang" yang berpeluang besar mengecewakan.
Dan sejak saat itu pula, saya berjanji akan mengganti perhiasan emak satu-satunya dengan yang lebih banyak.

WhereIn Android