HAM HIM HUM HEM HOM
Dulu saat saya masih bersekolah di tingkat sekolah dasar hingga tingkat sekolah pertama, terdapat banyak peraturan tingkat tinggi di sekolah yang harus dipatuhi. Salah satunya adalah kedisiplinan, ini benar-benar menjadi hal yang menakutkan untuk dilanggar. Terlebih lagi bagi anak-anak yang masih berumur belasan tahun, akan ada rasa untuk menghindari diri dari pelanggaran terhadap kedisiplinan tersebut.
Bercerita masa lalu saat bersekolah dulu, jika seorang siswa datang terlambat tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sekolah, maka bersiaplah untuk mendapatkan hukuman dari "dosa" tersebut. Toilet akan menjadi tempat dimana "dosa" tersebut akan di hilangkan, dengan catatan tempat tersebut harus terlihat bersih. Jika beruntung, maka halaman sekolah menjadi tempat berkumpul "si paling telat", dengan sebuah sapu lidi di tangan serta tong sampah sebagai dua alat untuk membuat halaman sekolah bersih.
Contoh lainnya, banyak siswa laki-laki yang akan menjaga rambut mereka agar terlihat rapi sepanjang tahun. Jika tidak, gaya rambut "barbar" akan menjadi seni guntingan rambut yang dilakukan oleh guru yang bertugas sebagai "algojo" untuk urusan rambut para siswa. Tidak jarang untuk tindakan pelanggaran kedisiplinan lainnya, guru akan melakukan jurus menyentuh kulit perut secara halus, namun sangat perih di rasa. Telinga mungkin bagian yang sedikit paling nyaman untuk mendapatkan "belas kasihan", walau tetap berubah warna merah muda nantinya.
Foto milik saya sendiri
Bentakan atau kata-kata yang sedikit keras adalah "makanan" siswa jaman saya bersekolah dulu, suara itu kami sikapi sebagai dorongan untuk terus melakukan hal baik yang sesuai aturan. Tidak ada drama jika situasi itu terjadi, **mental terkadang banyak terbentuk karena bentakan itu, tidak mudah galau dan patah arah.
Hormat di hadapan tiang bendera, duduk manis di luar jam pelajaran tanpa berani kemana-mana, serta mengangkat kaki dengan memegang kedua kuping adalah bentuk indisipliner lainnya yang terjadi di lingkungan sekolah. Tentu ada api sehingga ada asap, begitu pun hukuman yang terjadi di sekolah jika melanggar aturan yang ada.
Sekarang kita kembali ke abad yang katanya hak asasi manusia di utamakan, sehingga ada dua kelamin selain laki-laki dan perempuan yang "diperjuangkan" untuk menghormati hak asasi tersebut. Bahkan terdapat hak bagi pelaku tindakan kejahatan, ini semua di lakukan agar tidak melanggar "yang katanya" hak asasi manusia meskipun dia adalah tersangka.
Foto milik saya sendiri
Apakah contoh yang saya sebutkan di atas tadi masih berlaku di sekolah modern seperti saat ini? dimana tindakan melanggar peraturan sekolah akan mendapatkan sanksi berupa beberapa hal, yang juga saya sebutkan pada contoh di atas tadi?
Sepertinya terlalu berat "Ferguson", jika sanksi menjewer, mencubit, membentak, dan menyuruh, tersebut dilakukan. Siap-siap akan ada aduan hingga bentuk pelaporan ke pihak kepolisian yang akan di hadapi sekolah. Alasan utamanya adalah melanggar hak asasi manusia. Alhasil, para guru yang telah sibuk dengan beban tanggungjawab yang sudah lumayan banyak, harus disibukan lagi dengan urusan tersebut.
Dalam konteks pendidikan dan sekolah, secara pribadi saya mendukung hak-hak asasi manusia yang tidak bertentangan dengan kodrat dan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia yang merupakan anugerah dari tuhan. Namun jika segala bentuk sanksi sebagai cara agar tidak melenceng di anggap melanggar hak asasi manusia, maka dalam hal ini secara pribadi saya kurang setuju. Penting di catat bahwa sanksi yang dilakukan harus mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, dan dapat di lakukan secara bijaksana serta disikapi secara bijaksana juga.
Foto milik saya sendiri
Sekarang sekolah dan para guru mulai sadar untuk mengikuti perkembangan jaman yang ada, mengikuti arah dunia menyikapi hal-hal yang dulu di anggap terlalu mengerikan, yang pada kenyataannya menghasilkan generasi disiplin dan bertanggungjawab tanpa drama. Berbeda dengan saat ini dimana "kekacauan" harus melakukan di ingatkan dengan cara lembut dan mengikuti kemauan "dunia" untuk belajar sambil bermain.
Ini menurut diksi dan ingatan saya, Sehingga pada akhirnya, belajar adalah bermain, peraturan adalah bermain, ilmu adalah bermain, disiplin adalah bermain, hukum adalah bermain, dan Guru adalah teman bermain.....
Period | December 28, 2024 to January 28, 2025 |
---|---|
Transfer to Vesting | 525 Steem |
Cash Out | 475 Steem |
Result | Club5050 |
CSI | 16.6 (0.00 % self, 99 upvotes, 73 accounts, last 7d) |
@tipu curate
Upvoted 👌 (Mana: 6/8) Get profit votes with @tipU :)
#steemexclusive
@ myteacher
yes
no
Di era globalisasi, hak asasi menjadi tameng pelindung yang sangat kuat. Guru harus memiliki tingkat kesabaran yang tanpa batas, karena sekarang semuanya bisa tertangkap kamera dan menyebar luas.
Saya pun ingat betul bagaimana saat di bangku SD, rotan menjadi senjata andalan guru, di bangku SMP penghapus papan tulis pernah melayang ke arah bangku urutan terakhir. Sebuah bentuk ketegasan menegakkan kedisiplinan.
Pengalaman anda adalah pengalaman kami juga saat itu, akhirnya kita menjadi generasi yang masih memiliki rasa hormat dan kuat saat ini.
Tidak tahu bagaimana sekarang bang fajrularifst, siswa sudah berani melakukan hal-hal yang melanggar hak asasi manusia itu sendiri. Guru di lecehkan bahkan di bantu oleh orang tua mereka, dengan alasan dan tuduhan melanggar HAM karena dianggap bahaya untuk membuat aturan yang sebenarnya bagus untuk membimbing dan menempah peserta didik agar menjadi generasi yang beradab. Perlu dicatat, untuk beberapa kasus yang pernah terjadi, bahkan viral.
Ntahlah, saat ini guru akan berusaha agar peserta didik berhasil di sekolah dan masa yang akan datang, serta menghindari diri dari hal-hal yang akan berdampak terlalu besar nantinya. Mudah-mudah, semua kebaikan selalu ada jalan dengan cara dan metode belajar saat ini.
Terima kasih untuk verifikasinya bang fajrularifst.