Antara Japan dan Pulo Aceh Shinji Dan Hatsue Dan Ombak Yang Bernyanyi
(Novel Nyanyian Laut, Yukio Mishima)
Setiap melihat nelayan dan laut, aku selalu teringat sebuah kisah dalam novel yang ditulis Yukio Mishima, berjudul "Nyanyian Laut". Buku itu kubaca ketika masih kuliah pada tahun 2008. Dulu, sebelum menyelam dilaut bacaan, aku tidak seberapa tahu pengarang-pengarang keren dan terkenal. Ketika itu, aku selalu bertanya pada orang yang kupercayai pengetahuannya tentang bacaan. Salah satu orang yang sering kuminta merekomendasi buku adalah Edi Miswar. Dia menamai akun steemitnya dengan nama @gabrielmiswar. Gabrielmiswar adalah nama anaknya yang pertama. Tentu dia mengambil nama Gabriel dari penulis terkenal Kolombia, yang banyak menghabiskan masa hidupnya di Mexico, "Gabriel Garcia Marquez". Begitulah kalau terlanjur ngefans.😎
(Pulo Aceh)
Nyanyian laut, Yukio Mishima telah tersimpan di otakku dan tidak pernah mau keluar. Dalam bahasa Jepang, novel tersebut berjudul " Shiosai". Penulis novel tersebut mengakhiri hidupnya pada tahun 1970 dengan cara "Seppuku". Belakangan kuketahui bahwa Seppuku adalah bentuk ritual bunuh diri yang dilakukan oleh samurai Jepang, dengan cara merobek perut. Cara tersebut dilakukan untuk memulihkan nama baik ketika gagal dalam tugas memenuhi kepentingan rakyatnya. 👍👍👍
Nyanyian Laut, menceritakan kisah asmara seorang pemuda miskin, dengan seorang gadis kaya di desa Uta Jima. Desa tersebut berada di pesisir jepang dan sangat terpencil. Di sana ada seorang pemuda miskin, yang sehari-hari menjadi nelayan dan bernama Shinji. Sementara Hatsue merupakan anak dari seorang yang sangat terpandang di desa itu. Karena faktor kemiskinan, Shinji menjadi pribadi yang sangat personal dengan perasaan, suasana hati, juga bayang-bayang pikiran, yang mengurung dirinya. Aku begitu menyukai penggambaran tokoh yang tercermin dalam novel tersebut. Sesuatu yang lahir apa adanya sebagai manusia biasa, melesap dalam kepribadian serta psikologi utuh, umumnya kehidupan nyata. Tentu kita kerab menemui perbedaan sikap, baik dalam bentuk perasaan, rasa hormat, atau gerak tindakan yang berasal dari ketidak setaraan hidup. Dan aku selalu menyayangi kehadiran itu. Walau demikian hubungan Shinji dan Hatsue mampu mereka pertahankan sehingga mendapat restu dari bapaknya hatsue yang sebelumnya enggan.
(Boat nelayan di Pulo Aceh)
Dalam novel tersebut, aku bukan hanya suka pada penggambaran karakter masing-masing tokoh. Namun menikmati gaya orang-orang pesisir dalam menjalani kehidupan dalam nuansa yang hampir sama dengan kampung nelayan di tempatku. Pembicaraan, dan senda gurau para nelayan di balai balai pinggiran laut. Tingkah ibu-ibu yang ikut mengambil ikan di pantai ketika musim ikan sedang banyak-banyaknya. Alam, dan bentuk-bentuk rumah yang sederhana, menjadi pemikat yang sangat kuat bagiku dalam novel tersebut.
Sekarang aku mengajak kalian ke Pulo Aceh, sebuah kecamatan di Aceh Besar yang terletak paling barat Indonesia. Aku sudah beberapa kali ke sana. Beberapa bulan yang lalu, aku dengan kawan-kawan komunitas "Kanot Bu", bekerjasama dengan WCS( Wordlife Concervation Sociaty), mengambil beberapa video klip lagu di pulo Aceh. Lagu tersebut merupakan album mini tentang kampanye laut, sebagai bentuk penghormatan dalam sumber kehidupan. Kawan-kawan, mempercayakan proses pembuatan album tersebut padaku. Tentu ketika penggarapan awal, banyak melibatkan teman-teman lainnya yang tergabung dalam MPL( Majelis Permusyarawatan Lirik) yang menjadi salah satu lini aksi di kanot bu. Setelah mendapat temuan dari tim riset sebelumnya, bahwa Pulo Aceh layak masuk dalam beberapa klip lagu sebagai kenang-kenangan untuk orang-orang pulo yang terpisah jauh. Di sana kutemukan seorang nelayan di desa Gugop yang sering dipanggil "Yahcut". Kami mengajak Yahcut beserta keluarganya agar mau bermain menjadi bintang videoklip pada salah satu lagu kami, yang memiliki tema cinta dari sebuah keluarga nelayan sederhana. Dan akhirnya Yahcut menyetujui ajakan itu.
(Sunset di pulo Aceh)
Yahcut seorang ayah yang memimpin sebuah keluarga sederhana. Dia memiliki seorang istri, dan tiga buah hati tercinta. Kulitnya hitam. Memiliki rambut kriting dan sorot mata yang tajam. Yahcut memiliki kaki kanan yang tidak normal dengan kaki kiri. Kaki kanan yahcut, hanya seukuran lengan tanganku. Saat mengunjunginya dirumah, dia melihat kami dengan gerakan mata yang meliputi segenap rasa tak tenang. Hanya sekejab dan beralih cepat. Saat itu Yahcut sedang memasang umpan pada seratusan mata pancing yang ia sangkut di lingkaran keranjang rotan. Di aceh model memancing seperti itu dinamai "Rawee".
Anaknya sedang bermain tanah di halaman rumah. Sesekali berlari ke arah Yahcut dan bersandar di pinggangnya. Yahcut yang sibuk dengan mata pancing, menasehati dengan lembut sekali. Secara batiniah aku begitu puas melihat keluarga tersebut. Jiwa yahcut sebagai ayah yang baik, terlihat saat meminta anaknya agar bermain lebih jauh dengannya. Irama kata-kata yang dia keluarkan untuk anaknya, adalah saripati nada yang tersimpan manis dalam kulkas hatinya. 😅.
(Boat Yahcut sedang mencari ikan)
Aku selalu suka cerita-cerita tentang laut. Tentang mulut muara yang selalu terbuka. Tentang tabuhan ombak. Tentang riak yang datang dan pergi. tentang ikan, tentang karang. Tentang burung camar. Tentang matahari yang kemerahan mencelup diri dalam lautan. Tentang penerimaan, dan tangguhnya para nelayan menjalani kehidupan.
Thank you Yukio Mishima, semoga kebahagiaan ada bersamamu. Aku telah menemukan Shinji dan Hatsue yang berbeda pada nyanyian laut, di Pulo Aceh.
Aneuk geuh. Mangat tabaca.
Bereh novel nyan...Gur👍