Korupsi dan Dana Otonomi Khusus di Aceh |
Dunia pendidikan masih membutuhkan dukungan DOKA.
Dana yang digelontorkan oleh Pemerintah Pusat untuk Aceh melalui Dana Otonomi Khusus Aceh atau DOKA menambah besar jumlah APBD Aceh. Hal ini di samping menguntungkan juga dapat membawa musibah bila tidak dapat dikelola dengan baik. Pada hakikatnya, Pemerintah Aceh sangat berperan dalam kemajuan daerahnya, sekaligus sebagai fasilitator dalam menjembatani keperluan rakyat dengan pemerintah, khususnya pemerintah pusat.
Hampir 16 tahun usia UU No. 11 Tahun 2006 dan hampir 15 tahun DOKA diberikan untuk Aceh, tetapi kesejahteraan masyarakat masih jauh panggang dari api sehingga memunculkan berbagai permasalahan. Pembangunan di Aceh belum sesuai harapan masyarakat, anggaran yang besar tidak diikuti keselarasan pembangunan. Pembagian alokasi anggaran menjadi salah satu hambatan, pembagian tidak sesuai prioritas dan pemerataan pembangunan menuju Aceh sejahtera. Ditambah lagi dengan pengelolaan anggaran yang tidak baik, dapat menimbulkan praktik-praktik korupsi.
Perilaku korupsi telah menggerogoti dana yang besar di Aceh melalui sistem pengelolaan anggaran yang buruk. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menobatkan Aceh sebagai provinsi terkorup nomor dua setelah DKI Jakarta tahun 2011, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK dengan indikasi kerugian negara mencapai Rp669,8 miliar dari 629 kasus. Korupsi telah menjadi masalah multidimensional dan menjadi masalah mendasar sebagai penghambat pengalokasian DOKA.
Korupsi DOKA telah terjadi beberapa kali dan sangat mungkin terulang kembali pada masa yang akan datang. Sampai saat ini, paling tidak ada empat kasus korupsi DOKA yang melibatkan kepala daerah. Tahun 2004 dan 2018, Gubernur Aceh terlibat kasus korupsi DOKA dan bupati terlibat korupsi DOKA pada tahun 2016 dan 2018. Empat kasus tersebut terkait dengan penerimaan anggaran oleh pemerintah Aceh untuk membiayai pembangunan di Aceh.
Keadaan ini jelas memberikan pengaruh besar terhadap perwujudan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh. Dorongan korupsi ini akibat monopoli kekuatan oleh kepala daerah dalam era otonomi khusus tanpa diikuti pengawasan yang memadai dari aparat pengawasan dan civil society. Ditambah lagi para pengelola DOKA belum menjadi teladan.
Oleh karena itu, untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan korupsi DOKA maka akuntabilitas dalam proses perencanaan dan penggunaan anggaran wajib dilaksanakan. Pada saat implementasi harus dilakukan sesuai rencana, konsistensi harus dijaga untuk menghindari penyelewengan.
Akuntabilitas juga diterapkan saat review sebelum dilakukan proses pembayaran atau pencairan anggaran oleh aparat hukum. Pengawasan penggunaan DOKA juga harus melibatkan peran serta masyarakat melalui LSM yang kredibel serta media massa memiliki akses sebagai wujud dari transparansi.
Setiap penyalahgunaan wewenang dilaporkan ke pihak-pihak terkait, khususnya pengawasan internal, untuk mencegah berlanjutnya penyimpangan maupun penyalahgunaan wewenang. LSM dan pers menjadi mata dan telinga masyarakat dalam hal pengawasan. Dampak dari pengawasan yang berlapis akan berimplikasi kepada kehati-hatian dalam penggunaan dan pengalokasi anggaran DOKA.[]
Thank so much @memamun.