Mencatat Ironi Bangsa

in #history7 years ago (edited)

Saya suka terenyuh mendengar penyiksaan. Sikap psikologis saya adalah selalu ingin melawannya dan tak sudi pasrah apalagi prihatin pasif.

Dalam palung sejarah, ada orang-orang yang dikorbankan oleh kekuasaan negara untuk bisa semakin membesar. Mereka yang mati menjadi nisan tak bernama. Adapun yang hidup meringkuk dalam nestapa.

Negara memang menjadi ironi sendiri. Di satu sisi, seperti gagasan Ernst Renan, filsuf Perancis, bahwa hadirnya negara-bangsa adalah bentuk penebusan atas perbudakan dan kesakitan yang dirasakan oleh bangsa-bangsa terjajah. Namun sayangnya ketika ia merdeka dan menyatakan dirinya sebagai sebuah nasion, ia melakukan penyiksaan dan penumbalan atas anak bangsa sendiri.

IMG_20160910_062730.jpg

Malam ini (17/10) saya menonton Metro TV tentang kisah orang-orang seperti itu: mereka yang pernah diseret ke penjara Orde Baru . Saya baru menonton di tengah acara ketika mengalihkan channel dari TV One yang agak bosan.

Pada babak pertama digambarkan kisah penangkapan sekretaris Petisi 50, A.M. Fatwa setelah muncul kasus Tanjung Priok 12 September 1984. Sebenarnya AM Fatwa bukanlah orang yang ikut dalam aksi demonstrasi buntut dari tindakan pelecehan terhadap salah satu musholla di wilayah Tanjung Priok yang dilakukan aparat keamanan pada 8 September 1984. Seperti diketahui daerah Priok termasuk daerah basis muslim tradisional yang memiliki karakter keras. Kasus pembantaian di Tanjung Priok bukan saja luka terparah yang pernah dirasakan kelompok "Islam kanan", tapi juga salah satu kisah pembantaian yang paling keji yang pernah dilakukan oleh Orde Baru yang saat itu dipimpin oleh Panglima ABRI, L.B. Moerdani.

AM Fatwa.jpg
Source:

Kembali kepada kisah yang menimpa A.M. Fatwa yang sempat ditahan penjara Orde Baru selama sembilan tahun, ia mendapatkan banyak kenang-kenangan buruk berupa penyiksaan dan penistaan kemanusiaan. Meskipun ada yang unik dari sikapnya kepada Soeharto. Ia kemudian hari melunak dan memaafkan jenderal penuh senyum itu.

Kisah kemudian mengarah kepada Tedjabayu Soedjojono, anak pelukis nasional kebanggaan Soekarno, Soedjojono. Saat itu umurnya baru 21 tahun. Ia ditangkap beberapa hari setelah pemberontakan 30 September 1965. Ia yang masih mahasiswa saat itu ditangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Buru, Maluku; tempat paling neraka di Indonesia. Mereka yang terbuang di pulau Buru akan mengalami waktu yang membeku. Mereka hanya melakukan kerja paksa dan menanti untuk menerima siksaan oleh para sipir yang sangat kenyang dengan apel upacara dan hapal Pancasila itu.

Tedjabayu merasakan penderitaan yang lebih banyak dibandingkan A.M. Fatwa. Fatwa yang mendapatkan cita-cita politiknya dengan pelbagai prestasi yang didapatkan dalam status politik pascaOrde Baru, orang seperti Tedjobayu terus dirundung duka. Ia yang ditangkap pada Oktober 1965 harus merasakan dinginnya penjara hingga 1979. Ia memang masuk generasi pertama yang dilepaskan setelah kekejaman Orde Baru itu dikecam dunia internasional. Ia terus menemboki hari-harinya dengan tuduhan anak PKI, padahal Soedjojono tak memiliki kepedulian yang lebih besar dibandingkan kepada seni lukis dan sosialisme-marxis, sebagai pandangan ideologi dan kesenian.

IMG_20160921_111250.jpg

Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa Orde Baru yang bengis itu seperti tak terbersit lagi di ingatan publik Indonesia saat ini. Padahal rejim itu belum lagi lewat dua dekade meninggalkan kita, dan mereka punya 32 tahun yang memilukan bagi anak bangsa.

Catatan ini saya buat hanya untuk menghindari sakit sejarah dan linu-linu kemanusiaan. Sejarah harus berjalan dengan kewarasannya dan jangan sampai melewati lagi babak yang pernah dilaluinya kedua lagi tanpa sadar. L'histoire se repete!

17 Oktober 2017

Sort:  

kisah-kisah ini menunjukkan bahwa Orde Baru yang bengis itu seperti tak terbersit lagi di ingatan publik Indonesia saat ini. Padahal rejim itu belum lagi lewat dua dekade meninggalkan kita. Padahal mereka punya 32 tahun yang memilukan bagi anak bangsa.

Kadang perputaran sejarah lebih radikal dari prediksi banyak orang.

Hampir setiap rezim melakukan penyiksaan. Umumnya dilakukan kpd yg melakukan koreksi2 terhadap pemerintah. Baik itu penyiksaan fisik maupun psikoligis. Oleh sebab itu, rezim penguasa harus sedikit tebal kuping saat berhadapan dgn masyarakatnya. Jgn sedikit sefikit tangkap, tangkap koq sedikit sedikit. 😀

Ya...makanya sudah betul Jokowi jadi preesiden. Kalau yang satu lagi, azab dah..hehe

Saya tunggu tulisannya tentang pribumi!

Akan saya tulis untuk Kompas... Sekarang otw ke Banda Aceh.

Negara selalu menyimpan kotak hitam tentang berbagai penyiksaan dan ketidakadilan. Ia disimpan sedalam-dalamnya demi menjaga citra baik bangsa. Tapi, seperti bangkai yang diselimuti dedaunan, lama-lama bau amisnya tercium juga..

Dan semua bangsa ditakdirkan untuk melakukan kekerasan kepada anak bangsanya

Setiap tetesan sejarah harus terbesit dalam langkah kita. Inilah perjuangan bangsa..