history of the nickname of "Bireuen" (sejarah julukan kota juang "Bireuen")
Although only a week, Bireuen had become the third capital of Indonesia after Yogyakarta and Bukittinggi fell into the hands of the invaders in the second aggression of the Netherlands.
But unfortunately the historical fact was never recorded in the history of Indonesian Independence.
A broken history thread.
Walau hanya seminggu, Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga setelah Yogyakarta dan Bukittinggi jatuh ke tangan penjajah dalam agresi kedua Belanda.
Namun sayangnya fakta sejarah itu tidak pernah tercatat dalam sejarah Kemerdekaan RI.
Sebuah benang merah sejarah yang terputus.
At a glance, nothing is too special in the Bireuen District Bupati's Hall. Only a semi-permanent building that is architecturally Aceh traditional house. But who would have thought, behind the old building is stored the history of the struggle for independence of Indonesia that should not be forgotten just like that. In fact, there was once the exile place of President Sukarno.
Sekilas, tidak ada yang terlalu istimewa di Pendopo Bupati Kabupaten Bireuen tersebut. Hanya sebuah bangunan semi permanen yang berarsitektur rumah adat Aceh. Namun siapa sangka, dibalik bangunan tua itu tersimpan sejarah perjuangan kemerdekaan RI yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Malah,di sana pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno.
The arrival of the first president of RI to Bireuen is very phenomenal. At that time, in 1948, the Dutch launched their second aggression against Yogyakarta. In a moment the second capital of the Republic of Indonesia fell and occupied by the Dutch. The first President Soekarno who was then domiciled and control of the government there must also be fog. There was no other choice, Sukarno's presidency was forced to exile himself to Aceh.
Precisely in Bireuen, which is relatively safe. Soekarno moved to Bireuen by boarding a Dakota aircraft. The special aircraft piloted by Teuku Iskandar, landed smoothly at Cot Gapu's civil airfield in June 1948.
The arrival of the presidential entourage in welcoming the Aceh Military Governor, Teungku Daud Beureu'eh, or familiarly called Abu Daud Beureueh, Commander of the X Division, Colonel Hussein Joesoef, the military officers of the X Division, the clergy and community leaders. Do not miss the Children's School (SR) also welcomed the arrival of the president as well as the Military High Commander.
In the evening at the Cot Gapu airfield held Leising (rally) grand. President Soekarno with his trademark, speeches fiery, burning people fighting spirit in the Bireuen Residency which booming Cot Gapu airfield. The people of Bireuen are very proud and happy to meet and hear directly the speech of President Soekarno about the Dutch aggression from 1947 to 1948 which has reigned over East Sumatra (North Sumatra) now.
Kedatangan presiden pertama RI itu ke Bireuen memang sangat fenomenal. Waktu itu, tahun 1948, Belanda melancarkan agresi keduanya terhadap Yogyakarta. Dalam waktu sekejap ibukota RI kedua itu jatuh dan dikuasai Belanda. Presiden pertama Soekarno yang ketika itu berdomisili dan mengendalikan pemerintahan di sana pun harus kalang kabut. Tidak ada pilihan lain, presiden Soekarno terpaksa mengasingkan diri ke Aceh.
Tepatnya di Bireuen,yang relatif aman. Soekarno hijrah ke Bireuen dengan menumpang pesawat udara Dakota. Pesawat udara khusus yang dipiloti Teuku Iskandar itu, mendarat dengan mulus di lapangan terbang sipil Cot Gapu pada Juni 1948.
Kedatangan rombongan presiden di sambut Gubernur Militer Aceh, Teungku Daud Beureu’eh, atau yang akrab disapa Abu Daud Beureueh, Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama dan para tokoh masyarakat. Tidak ketinggalan anak-anak Sekolah Rakyat (SR) juga ikut menyambut kedatangan presiden sekaligus PanglimaTertinggi Militer itu.
Malam harinya di lapangan terbang Cot Gapu diselenggarakan Leising (rapat umum) akbar. Presiden Soekarno dengan ciri khasnya, berpidato berapi-api, membakar semangat juang rakyat di Keresidenan Bireuen yang membludak lapangan terbang Cot Gapu. Masyarakat Bireuen sangat bangga dan berbahagia sekali dapat bertemu mukadan mendengar langsung pidato presiden Soekarno tentang agresi Belanda 1947-1948 yang telah menguasaikembali Sumatera Timur(Sumatera Utara) sekarang.
The nickname of Juang City set for Bireuen District is interesting for us to know its origin.
Moreover there are still many people who do not know it. Even those who claim to be Bireuen once.
Tgk Sarong Sulaiman, a 110-year-old perpetrator of history and fighter who lives in Keude Pucok Aleu Rheng village, Peudada Bireuen, when Narit is found in his home, looks healthy and his memory is still strong.
As for Bireuen dubbed the City of Juang, according to his testimony, Bireuen had been the third capital of Indonesia for a week, after Yogyakarta fell into the hands of the invaders in the Dutch aggression. "Meuligoe Bireuen Regent who is now the exiled place of President Soekarno," said the late retired Lieutenant Yusuf Ahmad (80), or better known as Lieutenant Yusuf Tank, who is domiciled in Juli Keude Dua Village, Juli District, Bireuen District.
In fact, he said, the role and sacrifice of the people of Aceh or Bireuen in particular, in maintaining the independence of this Republic, so great his services. The journey of history has proved it. In the days of the 1945 Revolution, the Acehnese military was concentrated in Bireuen.
Julukan Kota Juang yang ditetapkan untuk Kabupaten Bireuen menarik untuk kita ketahui asal usulnya.
Terlebih masih banyak orang yang tidak mengetahuinya. Bahkan mereka yang mengaku orang Bireuen sekali pun.
Tgk Sarong Sulaiman, seorang pelaku sejarah dan pejuang yang sekarang berusia 110 tahun, yang berdomisili di Desa Keude Pucok Aleu Rheng, Peudada Bireuen, saat ditemui Narit di rumahnya, kelihatan masih sehat dan ingatannya pun masih kuat.
Adapun mengenai Bireuen dijuluki sebagai Kota Juang, menurut keterangan beliau, Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga selama seminggu, setelah Yogyakarta jatuh ke tangan penjajah dalam agresi Belanda. “Meuligoe Bupati Bireuen yang sekarang ini pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno,” kata almarhum purnawirawan Letnan Yusuf Ahmad (80), atau yang lebih dikenal dengan panggilan Letnan Yusuf Tank, yang berdomisili di Desa Juli Keude Dua, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen.
Bahkan katanya, peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen khususnya, dalam mempertahankan kemerdekaan Republik ini, begitu besar jasanya. Perjalanan sejarah telah membuktikannya. Di zaman Revolusi 1945, kemiliteran Aceh pernah dipusatkan di Bireuen.
"Never Leave History," Soekarno (17 August 1966).
The sentence delivered by President Soekarno above has a very deep meaning. The message indicates that history is an important part of this Republic which should always be remembered and remembered by every generation of Indonesia.
Every young generation of Indonesia must know how the independence of the Indonesian nation is achieved. Many sacrifices have been made by freedom fighters first. Whether it is a sacrifice of property to a life that must be redeemed to achieve the ideals of freedom. We Indonesians are not like neighboring countries, as Malaysia, Singapore, Philippines, Brunei, which are independent with the "mercy" or "gift" of foreign parties, without meaningful struggle, as the Indonesians experienced during the occupation.
“Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah ,” Soekarno (17 Agustus 1966).
Kalimat yang disampaikan oleh Presiden Soekarno di atas memiliki makna yang sangat “dalam”. Pesan itu menunjukkan bahwa sejarah adalah bagian penting dari Republik ini yang senantiasa harus diingat dan dikenang selalu oleh setiap generasi Indonesia.
Setiap Generasi muda bangsa Indonesia mesti mengetahui bagaimana kemerdekaan bangsa Indonesia diraih. Banyak pengorbanan yang telah dilakukan oleh pejuang kemerdekaan dahulu. Baik itu pengorbanan harta hingga nyawa yang harus ditebus untuk menggapai cita-cita kemerdekaan. Kita bangsa Indonesia tidak seperti Negara-negara tetangga, sebagaimana Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei, yang merdeka dengan “belas kasih” atau “hadiah” dari pihak asing, tanpa perjuangan yang berarti, seperti yang telah bangsa Indonesia alami selama diduduki oleh penjajah.
Salam hangat saya kepada komunitas ksi,nsc dan bsc
Follow me @menolaklupa
Upvote yah..
Sejarahnya yg bagus