#Galau
Manusia adalah makhluk rasional, sebab ia mampu mempertemukan banyak tinjauan. Meski nafsu senantiasa berputar di sekelilingnya, ia akan selalu belajar. Sekecil apapun ia memahamkannya.
Mengapa hakikat manusia adalah khilaf? Mengapa manusia sempurna dengan ketidaksempurnaannya dipermisifkan? Bukankah manusia dibekali dengan potensi unggul untuk mengoptimalkan setiap buatannya? Dan jika naïf mempertanyakan segala kebiasaan, bagaimana memenuhi dan menyatakan kegelisahan-kegelisahan?
Jadi biar menggalau semua perasaan saat bertemu tanda-tanda kebesaran Nya di bumi dan di langit, sebab semestinya, bukan mereka yang tak pernah dilahirkan atau mati muda yang beruntung, tetapi yang mau tangguh saling mengingatkan dalam mentaati kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran dalam segalau-galau nya perasaan.
Adaptasi tidak membutuhkan dominasi, tapi hasil selektif yang diterima secara wajar bukan mutlak relasi dominasi untuk kebertahanan adaptasi.
survive dan adaptasi tipis tapi beda.
Kebersyukuran bukan dominasi tp penyerahan diri mutlak, merujuk pada suatu keadaan.
Keduanya bermuara pada logika dan perasaan, dua tinjauan berkelakuan fiksi dan fiktif, ribet dengan hal remeh temeh yang membatasi konektivitas untuk merunutkan silogisme yang juga akhirnya memutuskan untuk meninggalkan.
Rasa itu bisa sekali di manipulatif, menambahkan sesendok gula membuatnya manis, dua sendok gula akan lebih manis, atau tidak sama sekali memberinya gula yang membuatnya subversif menjadi pahit, tapi semua tergantung dari hasil akhir pencicip rasa, buktinya remeh temeh dapat mengubah dunia, seandainya bukan apel yang menimpa di kepala newton, tetapi batang pohonya berikut dahan dan akarnya, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan dibuatnya dengan gravitasi oleh laki-laki dengan lubang di kepalanya itu.