Keumamah, Makanan Khas Aceh yang Tidak Terpinggirkan
Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 wib. Di Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, Banda Aceh, ratusan orang hilir-mudik mencari, membeli ikan. Penjualnya dengan semangat menawarkan harga ikan yang variatif, tergantung jenisnya. “Satu kilo Rp 10 ribu,” para penjual menjajakan ikan-ikannya.
Dari kejauhan, bau khas ikan-ikan segar dihembuskan angin sepoi-sepoi mulai terasa. Di parkiran, deretan sepeda motor muge yang dilengkapi raga ikan di samping kiri dan kanan berjejeran. Pemilik motor sedang asik mencari ikan yang akan diperjualbelikan ke gampong-gampong. Raga ikan merupakan wadah ikan. Biasanya terbuat dari rotan atau drum bekas.
Sejumlah boat nelayan berlabuh. Pekerja mengangkut berton-ton ikan dari sana. Ikan yang beredar di Banda Aceh, berasal dari Lampulo. Pelabuhan perikanan terbesar di Aceh. Kehadiran pelabuhan ini mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Baik bagi pedagang ikan sendiri maupun penjual makanan di sekitar pelabuhan.
Penjual ikan Fadli, rutin ia membeli ikan dari sana, jumlahnya sekitar satu sampai dua ton. Tempat Fadli berjualan berada di sekitar perbatasan Lamdingin dan Lampulo. Kepada Warta Kota Banda Aceh ia mengatakan, sudah 11 tahun berjualan di sana.
Ditemani dua pekerja, Fadli menjual ikan olahan dan mentah. Ikan yang diolah berupa tongkol menjadi ikan keumamah. Keumamah adalah masakan khas Aceh yang terbuat dari bahan baku ikan, biasanya ikan tongkol. Orang luar Aceh sering menyebutnya ikan kayu.
Kata Fadli, nampaknya mengolah ikan menjadi keumamah tidak terlalu. Nyatanya tidak demikian. Ikan yang akan diolah menjadi keumamah, terlebih dahulu dipotong kepalanya. Selanjutnya dibersihkan, direbus 1,5 jam. Setelah direbus, kemudian perutnya dibelah serta dijemur hingga sore hari. “Harga keumamah tergantung besar berkisar Rp 40-50 per kilogram,” ujarnya.
Fadli memasarkan keumamah untuk kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar. Keumamah sudah melekat erat dengan akrab dengan orang Aceh. Sehingga sering dikonsumsi. Di hidangan pesta, keumaah sudah menjadi makanan wajib.
Selain itu ia juga mengolah ikan asin. Tetapi akhir-akhir ini harga ikan tidak sesuai dengan modal yang dikeluarkan. Harga penjualan ikan asin lebih rendah daripada menjual ikan mentah. Biasanya ikan asin yang dijual mencapai Rp 50 ribu per kilogram. Ikan asin biasanya ia jual ke kawasan Lambaro. “Sekarang ikan asin kita jual enggak balik modal,” ujar warga Banda Aceh itu.
Katanya, harga ikan tidak menentu. Tergantung cuaca. Biasanya nelayan tidak melaut saat cuaca ekstrim, demi menjaga keselamatannya. Akibatnya, ikan di pasar menjadi sedikit, sehingga harganya yang dijual melebihi harga biasanya.
Fadli menuturkan, jenis ikan mentah yang dijual beragam. Mulai dari dendeng, dencis, jeunara, tongkol, dan sebagainya. Jenis ikan-ikan yang dijual juga bergantung pada ketersediaanya di pelabuhan. Setiap hari ia mendistribusikan 800 potong ikan ke salah satu dayah di Banda Aceh. Jenis ikan yang didistribusikan ke sana tergantung pada pemintaannya. Untuk eceran, harga ikan sesudah dibersihkan Rp 30 ribu per kilogram.
“Bahkan kadang-kadang saya bisa menjual ikan mentah sampai 1,5 ton sehari,” tuturnya.
Menurut informasi yang ia peroleh, banyak ikan di pelabuhan yang dibawa ke luar Banda Aceh. Sebab, biasanya nelayan dengan boat besar mampu menangkap ikan hingga 50 ton. Jumlah sebesar itu tidak mungkin dihabiskan semuanya di pusat provinsi ini.
Untuk menjaga ketahanan ikannya, Fadli menggunakan fiber ikan. Ikan yang tidak habis dijual pada hari ini, disimpan di sana dengan tambahan es. Paling lama, ikan-ikan tersebut bisa bertahan tujuh hari.
Saat ini Fadli sudah memiliki seorang istri, dua orang anak. Anak pertamanya berusia empat tahun. Hasil penjualan ikan sehari-hari, insyaallah sudah mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya itu. Meskipun demikian, ia bertekad memajukan usahanya ini.
“Saya mengharapkan pemerintah terus memberi perhatian khusus demi kesejahteraan rakyat,” imbuhnya.