Wayang Budiman, Bioskop Alternatif Malaysia
Pergeseran fungsi film menjadi media hiburan membuat perubahan pada masyarakat dalam memaknai bioskop pula. Bioskop yang semula hanya sebuah media yang berfungsi sebagai ruang putar film cerita berubah menjadi sebuah kebutuhan akan tuntutan gaya hidup masyarakat pop-culture perkotaan. Ini memberi dampak besar pada perkembangan industri perfilman. Para pelaku industri mulai melihat peluang-peluang yang bisa dilakukan untuk menjaga agar bisnis kebudayaan ini terus bisa menghidupi dirinya sendiri. Namun, beberapa kelompok yang masih memaknai film sebagai produk seni budaya yang punya fungsi lain selain dari pada hiburan semata menginisiasi bioskop alternatif sebagai ruang putar bagi film-film yang akan didiskusikan lebih dalam dan dikupas dari berbagai sudut pandang ilmu pengetahuan.
Salah satu bioskop alternatif yang pernah saya kunjungi di Asia Tenggara adalah Wayang Budiman. Wayang Budiman merupakan sebuah program pemutaran film dwi-mingguan di Alam Budiman, Shah Alam, Malaysia. Wayang Budiman diinisiasi oleh sekelompok filmmaker Malaysia yang juga mendirikan Pusat Kajian dan Apresiasi Film Malaysia. Kelompok ini bergerak secara independen dan membiayai mereka sendiri dengan uang dari proyek-proyek pribadi. Wayang Budiman berada di lantai dua dari deretan ruko pada pusat perbelanjaan di Seksyen U10, Alam Budiman, Shah Alam. Tidak ada tanda-tanda sebuah bioskop yang biasanya diisi dengan kursi-kursi merah empuk dengan layar putih di hadapannya. Wayang Budiman hanya sebuah ruangan dengan kursi-kursi plastik dan dinding berwarna putih di satu sisinya. Di bagian lainnya, dinding ini diisi oleh rak buku panjang dari kayu yang memajang buku-buku bertema budaya, film, sinematografi, katalog festival-festival film, dan politik. Saat pemutaran film, ruangan ini akan berubah gelap dengan tembakan cahaya putih dari proyektor dan diisi oleh pengunjung yang hendak menonton dan berdiskusi.
Wayang Budiman ini tidak memungut biaya untuk menonton dan tidak membatasi pengunjung yang artinya siapa saja boleh mengikuti program ini. Mulai dari penikmat film secara umum, filmmaker indie, mahasiswa jurusan film dan animasi Universitas Teknologi Mara Malaysia, dan tenaga pengajarnya. Budaya menonton seperti ini terus dibangun oleh kelompok filmmaker Malaysia tadi sebagai upaya mereka untuk membawa film kepada panggung utama yang membahas berbagai dinamika sosial, ekonomi, politik di dalam kehidupan. Wayang Budiman memiliki program dalam setiap pemutaran film-filmnya. Dalam dua bulan ini (April - Mei), Wayang Budiman mengangkat tema Saga Diaspora dalam program pemutaran mereka. Saga Disapora merepresentasikan komunitas diaspora dan imigran di berbagai belahan dunia. Film-film yang diputar berjudul La Heine (Perancis), Surat Dari Praha (Indonesia), dan Almanya: Welcome to Germany (Jerman). Ketiga film ini membicarakan isu persoalan identitas, secara budaya, negara, dan generasi. Selain itu turut membahas konflik antara tanah kediaman dengan tanah kelahiran, rasa kepunyaan dan keterasingan.
Wayang Budiman hadir bukan untuk melawan bioskop mainstream yang tersebar di seluruh penjuru Kuala Lumpur. Ia justru menawarkan sebuah gaya menonton yang lebih elegan, membawa film sebagai batu loncatan untuk membicarakan tema-tema yang berlaku dalam masyarakat. Pada poster iklan yang diposting di Instagram Wayang Budiman tertulis "Tayangan Percuma | Bertujuan Pendidikan|Semua Dijemput Hadir. Pemutaran film dan diskusi ini dimoderatori langsung oleh seorang pensyarah di Universitas Teknologi Mara (UiTM), Dr Norman Yussoef. Beliau memandu diksusi bersama narasumber yang diundang sesuai dengan bahasan yang hendak didiskusikan. Penonton yang hadir mencapai 20 - 50 orang. Dr Norman bercerita, biasanya jika film yang diputar adalah film dari Indonesia maka penonton sangat antusias untuk hadir. Seperti salah satu film yang masuk dalam tema pemutaran Saga Diaspora, Surat Dari Praha. Film Indonesia sangat diminati di Malaysia. Film Indonesia telah masuk ke Malaysia sejak tahun 1970-an. Pada era 1970-1980-an, film Malaysia sedang mengalami masa kejatuhan dan bioskop-bioskop di Malaysia diisi oleh film-film dari Indonesia. Faktor budaya yang sama antara dua negara ini membuat penonton dari Malaysia dengan mudah bisa menerima cerita-cerita dari film Indonesia.
Penonton film di Malaysia sangat menarik. Sebagian besar dari mereka tidak tertarik untuk menonton film di bioskop, hanya 5,5 % yang menyatakan bahwa mereka sengaja menonton bioskop karena faktor seperti aktor dan aktris yang terkenal atau karena promosi film yang menarik juga disebabkan oleh pembicaraan film tersebut yang luas (Penontonan Filem Cereka di Malaysia : Finas, 2009). Biasanya mereka pergi ke bioskop pada hari libur dengan membawa sekalian keluarga. Tentu saja pilihan filmnya pun harus disesuaikan, seperti film-film yang memberi inspirasi, motivasi, dan pelajaran hidup. Penonton Melayu lebih terbuka pada pilihan film-film yang akan mereka tonton. Mereka bisa menonton film bollywood dan film terbitan Hongkong/Cina. Hal ini berbeda dengan penonton Cina dan India. Mereka biasanya memilih tontonan dengan bahasa asli India/Tamil (bagi penonton India) dan bahasa mandarin atau film terbitan Hongkong (bagi penonton Cina).
Dengan beragamnya perilaku penonton yang ada di Malaysia, Wayang Budiman mencoba untuk masuk dan menghadirkan wacana menonton yang tidak sekedar sebagai hiburan di waktu senggang. Usaha yang dilakukan oleh filmmaker Indie di Malaysia tidak jauh berbeda dengan wilayah-wilayah yang lain di Asia Tenggara. Ruang putar film alternatif ini tumbuh dengan keinginan untuk menjadikan film sebagai karya yang patut diapresiasi dan menjadi bahan untuk di diskusikan lebih mendalam untuk ilmu pengetahuan atau membawa suatu perubahan yang progresif dalam kehidupan. Selain Wayang Budiman di Shah Alam, Cinebah juga hadir sebagai bioskop alternatif di Sabah, Malaysia.