Membunuh Rindu
sumber
Ia datang dari desa. Pergi dan berlayar menuju sebuah negeri yang disebut Selatan. Bibir yang dilumuri gincu hitam pekat dengan alis yang sedikit disulam, mengubahnya menjadi seorang pelacur. Sesal? Sama sekali tidak tertulis di keningnya. Sebab ia tahu, bahwa keinginan Tuhan tidak dapat dibantah. Dan sebab ia memahami, bahwa ia datang hanya untuk menebus satu tujuan: membunuh rindu.
Sudah sejak lama ia merencanakan sebuah keberangkatan. Tiga purnama yang lalu, ia pergi tanpa membanting pintu. Pada halaman rumahnya, ia lupa memberi salam pelepasan. Namun dengan segala pertimbangan ia berpikir: harus ada jejak yang mampu memberi noda pada rumah yang ditinggalkan. Maka ia menulis surat. Meninggalkannya di atas meja makan. Ia tahu bahwa tidak ada yang akan membalas salamnya, terlebih membaca suratnya. Sebab ia hanya sendiri, bermain dengan sepi. Di sebuah negeri yang disebut Utara, ia hidup sebatang kara, tanpa sanak maupun saudara.
Di negeri Selatan, di sudut kota, ada sebuah tempat mirip lorong yang bersifat betina. Dan ia tinggal di dalamnya. Ia terdampar di sana, dan hidup berdampingan dengan manusia-manusia kota. Rumah baru itu ia dapatkan hanya dengan membayar sebuah kalung emas. Betapa mudahnya ia menemukan sebuah tempat tinggal dan mendapatkannya tanpa mengeluarkan uang.
Satu purnama. Dua purnama. Sampai di purnama ketiga, bulan Desember, ia tidak lebih dari seorang gelandangan di sana. Tidak bekerja. Hidup hanya sendirian dan tak jelas. Uang yang ia bawa dari desa sudah hampir habis. Kurus menggerogoti tubuhnya. Ia kebingungan hendak berbuat apa. Sebuah pekerjaan akan sulit didapat jika hanya bermodalkan keinginan untuk bekerja. Dan pada akhirnya, di sebuah malam yang remang, tepat di malam pergantian tahun, ia mengulangi hubungan haram yang dahulu pernah dilakukannya. Ia menjual kelaminnya kepada pria pemilik salah satu gedung megah yang berada di negeri Selatan. Sejak saat itu pula ia mendapatkan sebuah pekerjaan. Pria itu menawarkan sebuah tempat kaum penjual tubuh yang disebut Jalan Hawa. Tempatnya tidak jauh dari rumah yang ia tempati. Dan takdir menjadikannya sebagai seorang pelcur. Tidak ada pertimbangan. Tidak ada keraguan. Ia harus memilih jalan kelam itu. Namun pelcuran bukan tujuan utama ia datang ke sana. Tetapi–sekali lagi–ia datang dengan tujuan untuk membunuh rindu. Maka ia harus tetap hidup agar dapat melakukan ritualnya.
![image]()
Pada dunia pelacuran, ia mengenal pelacur-pelacur lain yang memiliki sayap di punggung mereka. Ia masih kerdil dan tak memiliki sayap. Dengan memiliki sayap, pelacur dapat terbang dengan bebas dan membawa para pelanggannya berkunjung ke salah satu surga dunia. Ia menginginkan sayap itu. Tapi bukan untuk menjadi pel*cur yang produktif. Melainkan ingin menjadikan sayap itu sebagai salah satu senjata untuk membunuh rindu, selain sebilah pisau dan sejerat tali yang telah ia kemas sebelumnya.
Suatu malam di Jalan Hawa, ia duduk pada sebuah bangku yang berada tepat di depan pintu masuk surga dunia. Dengan setia ia menanti para kaum Adam yang melewati jalan itu. Dan dengan sebuah senyum menggoda, ia melantunkan dua kata ajaib “Mampir, Mas!” Ia sempat berbisik dalam hati.
‘Ini adalah sebuah titah. Aku seorang pel*cur, dan ini adalah juga seperti takdir. Dan aku merasa lebih suci dari hari kemarin. Kelak pada waktunya, sehabis tubuh ini rapuh sendiri, aku akan mengejarmu! Aku akan menghabisimu!’
Tidak ada yang akan mencarinya. Tidak ada satu pun yang tahu rahasianya. Ia berdiskusi dengan hatinya sendiri, dan menyepakati bahwa ia harus menuntaskan dirinya sebagai seorang pel*cur terlebih dahulu sebelum membunuh rindu. Ia sadar akan mendapatkan banyak pengalaman dari pekerjaannya itu. Dan ia juga percaya bahwa dengan pengalaman itu, ia pasti akan menemukan tempat di mana rindu bersembunyi.
Sebuah tanda tanya hadir di sela-sela kamar surga dunia, ketika ia sedang bergelut dengan nafsu seorang laki-laki berkacamata. Dengan teknik apa ia akan membunuh rindu? Pembunuhan yang ia saksikan hanya didapat dari berita-berita kriminal yang bermunculan di televisi dan koran. Tidak ada penjelasan bagaimana cara untuk membunuh rindu. Dan pertanyaan itu membuatnya tidak bersemangat dalam bercinta.
“Ada apa, Sayang? Kenapa berhenti?”
“Tidak ada. Aku hanya sedang banyak pikiran.”
“Ada apa? Cerita saja. Aku dengan senang hati akan mendengarkan.”
“Sudahlah! Mending kamu pulang. Cukup bayar separuh dari harga yang sudah disepakati.”
“Kamu ingin membunuh rindu? Ingat, rindu tidak bisa dibunuh. Dan jika kamu ingin membunuhnya, hanya ada satu cara, yaitu dengan melupakannya.”
12 Desember 2014, aku menemukan sebuah surat di atas meja makan, di rumah, tempat aku dahulu dilahirkan. Surat itu terlihat berdebu dan usang. Kubuka dengan rasa gelisah yang begitu menjadi.
‘23 September 1996. Karena kesendirianku yang hampir saja membunuhku, maka aku menulis ini. Suamiku pergi entah ke mana. Anakku satu-satunya telah dibawa olehnya. Dihilangkan dari pelupuk mataku. Dan di desa ini tidak ada manusia berkeliaran. Mereka juga pergi entah ke mana. Aku heran, mengapa sebuah malapetaka yang hadir dan menenggelamkan sebuah desa, membuat manusia yang berada di dalamnya berlarian menjauhi desa? Tanda tanya ini kuberikan juga kepada siapa saja yang membaca ini.
Aku tahu, aku adalah seorang istri yang tak becus dalam mengurus sebuah rumah tangga. Aku pun juga mengerti perihal pernikahan yang tak selalu bernasib baik. Sedang aku sebagai manusia, pun sama sekali tidak bernasib baik. Suami meninggalkanku karena ia melihatku sedang bermain cinta dengan laki-laki lain. Dan aku melakukan itu dengan keadaan sadar tetapi dengan satu alasan yang cukup kuat. Sebab suamiku tidak mampu menuntaskan tanggung jawabnya sebagai suami. Ia tidak bekerja. Setiap hari, waktu luang yang dimilikinya, ia gunakan untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Aku tahu, setiap manusia pasti akan berubah. Tapi aku adalah orang yang tidak suka dalam hal menunggu. Maka aku melakukan itu. Karena aku ingin lepas dari kelaminnya. Dan kepada siapa saja yang dengan kebetulan membaca ini, silakan menilai dengan sudut pandang masing-masing.
Hari ini kuputuskan untuk pergi. Sebab di desa ini, rindu selalu datang untuk mencoba membunuhku. Masa-masa lalu berkeliaran di dalam rumah. Dan aku tidak tahan dengan semua yang mengingatkanku akan peristiwa yang sudah-sudah. Pada akhirnya aku serupa seperti mereka. Sama-sama pergi untuk meninggalkan desa yang sudah disetubuhi oleh bencana. Namun kepergianku bukan karena sebuah ketakutan. Melainkan ingin mencari rumah rindu dan ingin membunuhnya. Tujuanku pergi ke negeri Selatan. Dan aku berharap dapat bertemu denganmu, rindu. Bersiaplah dengan sebilah pisau dan sejerat tali yang sudah kupersiapkan untuk membunuhmu.
Cerpen Karangan: Alif Febriyantoro
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Sastra
Email: [email protected]
Sumber Artikel
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://cerpenmu.com/cerpen-kehidupan/membunuh-rindu.html
Tulisan yg bagus