Bertemu Harimau
SEEKOR kedih bergelantungan di pucuk pepohonan mane (laban). Bulu rambut kedih yang berdiri tegak tepat di tengah kepala menyentuh dedaunan hijau mane. Sementara ekornya yang panjang menjuntai dan bergoyang-goyang mengikuti gerak tubuh. Kedih yang berwajah sedih itu kemudian memetik beberapa daun mane. Primata berwarna terang itu kemudian mengunyah-ngunyah daun tersebut. Jari jemari kedih yang berwarna gelap kemudian memungut ampas daun mane dari mulut dan mengusap-usapnya ke perut. Entah apa yang dilakukan lutung berekor panjang dengan gaya rambut trendi itu.
Mat Guci yang sedari tadi memadamkan sebagian bara api memerhatikan tingkah Presbytis thomasi ini. “Kasihan kau kedih. Wajahmu selalu sedih,” kata Mat Guci.
Bocah lelaki ini kemudian menuruni lereng Lemur arah barat. Di sana, banyak terdapat kacang-kacangan yang tumbuh liar dan dapat dimakan. Mat Guci berpikir kacang-kacangan ini dapat dijadikan sarapan bagi rombongan Brahim Naga yang masih tertidur pulas di puncak Lemur.
Bocah berambut keriting itu kemudian menuju ke arah tenggara, masih di seputaran lereng Lemur. Di tempat ini, Mat Guci menemukan beberapa buah mentimun dan ketela. “Ah, suburnya tanah negeriku,” batin Mat Guci seraya membenarkan kain yang membalut bagian bawah tubuhnya.
Mat Guci kemudian melirik ke kanan. Di antara tumbuhan mentimun terlihat seekor tupai berwarna lurik sedang memandang ke arahnya. Tupai itu berdiri di atas dua kaki dengan ekor tegak sejajar kepala. Sementara dua kaki depannya terlihat memegang seekor kelabang. Tupai itu kemudian mengeluarkan suara. “Cet..cet..crit..”
Ilustrasi by Pixabay
“Ah, diam kamu! Aku hanya mengambil beberapa mentimun di sini,” kata Mat Guci.
Tupai itu mematuhi perintah Mat Guc. Beberapa saat kemudian mulai menendang-nendang tanah dan menghilang.
Dari kejauhan terlihat beberapa ekor anak rusa berlarian di tepi hutan beringin yang rapat. Anak-anak rusa itu sesekali melompat dan tak jarang beradu antar satu sama lain. Sementara rusa-rusa dewasa terus merumput di bawah sinar mentari. Sesekali rusa dewasa memantau prilaku anaknya agar tidak menjauh dari pandangan mata. Seekor anak rusa terlihat menjauh ke tengah padang. Hal ini membuat sang induk menjadi gusar dan memanggilnya berulang kali. Mat yang sesekali memungut timun ikut memantau anak rusa itu. Hingga akhirnya terdengar suara langkah kaki disusul lengkingan suara induk rusa dari kejauhan.
Rusa dewasa yang kehilangan anaknya itu kemudian berlari tak karuan. Sesekali rusa itu mendekati hutan kemudian kembali ke tengah padang. Mat Guci menjadi heran. Dia terus memandang tingkah aneh induk rusa tersebut dengan berdiri di atas batu gunung.
Di tengah padang yang sedikit tertutup ketinggian rumput muncul seekor harimau dewasa. Kucing besar itu menenteng anak rusa tadi di mulutnya. Harimau itu menatap Mat Guci dengan sorotan mata tajam. Bocah berambut keriting itu diam seribu bahasa.
Mat terus menatap harimau seukuran anak sapi tersebut. Bulir-bulir keringat mulai keluar dari ubun-ubunnya dan menetes hingga ke dahi. Mat hendak berbalik badan dan berupaya menjauh dari batu besar itu. Namun, Mat kemudian teringat pada pesan Pang Amin.
“Jangan perlihatkan tengkukmu pada harimau!”
Mat berupaya tetap tenang. Dia terus menatap si raja rimba tersebut meski detak jantungnya terdengar hingga ke telinga. Perlahan-lahan, harimau tersebut memalingkan wajah dari pandangan Mat Guci. Hewan itu kemudian kembali fokus pada anak rusa yang kini berada di telapak kaki depannya.
Mat yang mulai tenang pelan-pelan turun dari atas batu besar. Namun saat Mat membungkuk, harimau tersebut kembali melihat Mat Guci dengan sorot matanya yang tajam.
“Maaf, aku hanya mencari timun di sini. Kamu sudah menemukan makanan, aku juga demikian. Sekarang aku hendak kembali ke tempat ayahku,” kata Mat Guci kepada harimau tersebut. Bocah ini tahu bahwa harimau tidak mengerti bahasa manusia. Namun, dia mencoba meniru Pang Amin yang sering berbicara kepada harimau.
Seperti mengerti perkataan Mat Guci, harimau itu kemudian memboyong anak rusa ke dalam rimba, setelah beberapa kali menatap ke arah hutan. Mat terlihat lega. Dia menyeka keringat dingin di dahinya dan bergegas turun dari batu. Mat kemudian memunguti timun dan kacang-kacangan yang terjatuh dari kain bekal.
“Ngohhh..ngohhhh…ngoohhh.” Suara itu tiba-tiba mengejutkan Mat Guci. Perlahan, bocah berkulit gelap yang sedari tadi merunduk itu menatap ke arah datangnya suara tersebut. Ternyata, seekor harimau besar sedang duduk di atas batu, tempat Mat Guci berdiri tadi.
Lagi-lagi Mat memandangi dahi harimau tersebut. Kini Mat merasa terancam, tetapi tidak mau bertindak gegabah. Sayup-sayup terdengar suara parau manusia dari belakang batu tempat harimau tersebut merebahkan badannya.
“Guree…”[] (bersambung…)
Tulisan ini merupakan lanjutan fiksi dari serial bersambung yang saya garap di blog ini. Baca juga cerita sebelumnya:
- Pawang Harimau
- Petarung Cilik
- Pulau Volcano
- Lereng Lemur
- Kisah Kematian Si Tangan Kanan
- Bertemu Si Bulu Merah
- Siwah Mencuri Makanan Elang
- Amuk Badak
- Api Unggun, Kuda Putih, dan Perdagangan Terlarang
Posted from my blog with SteemPress : https://abigibran.000webhostapp.com/2018/09/bertemu-harimau
You got a 29.25% upvote from @oceanwhale With 35+ Bonus Upvotes courtesy of @desirichfhonna! Earn 100% earning payout by delegating SP to @oceanwhale. Visit www.OceanWhaleBot.com for details!