Learning on Fiction: Akhirnya Bangunan Itu Musnah
Malam kian menjauh. Aku meninggalkan Kedai Kopi Bang Ja yang tak jauh dari rumahku. Seperti dugaan, aku harus menaiki pagar, mengendap masuk ke dalam, dengan langkah perlahan aku masuk ke dalam tanpa memperhatikan Kakek yang sedang asyik dengan rokok nipahnya.
"Pencuri kecil, kemari kau." Aku terkejut dengan suara Kakek dari balai teduh. Aku beranjak ke tempatnya, cahaya bulan di malam itu begitu malas, seakan sedang bersumpah tidak akan lagi merangkan kampung Keulayu.
“Kini kamu sudah tahu siapa Paman mu itu,” dia berkata sambil menghela nafas diikuti asap rokok yang melayang-layang di atas ubunnya.
Aku diam bertanda rahasia yang selama ini tertutup akhirnya terbuka melalui mulut serdadu itu. Ternyata, Kakek menyaksikan apa yang terjadi tadi di depan kedai kopi Bang Ja. Kemudian aku langsung beranjak ke kamar, merebahkan tubuh lelahku akibat siksaan kecil yang terasa begitu tak nyaman.
Pagi kembali membuka selendangnya. Menghamparkan sinar panasnya ke Kelayu, pasir-pasir pun mulai kering. Aku bangun dan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Pagi ini Kakek belum pulang dari melaut.
“Sudah kamu pergi saja dengan ojek, atau suruh antar sama Muslem. Kakekmu belum pulang,” kata Nenek sambil menyerahkan uang jajan.
Aku mempercepat langkah ke depot Muslem. Kulihat dia lagi sibuk dengan bisnisnya. Lantas, aku memanggil Syamaun, tukang ojek yang pemalas itu. Motornya yang setengah jadi itu cukup membuatku takut untuk diboncenginnya. Bau amis masih melekat di atas sadel yang robek sana-sini. Namun, aku harus sampai di sekolah tepat waktu.
Dia memutar motor seperti pembalap handal, sigap berhenti di hadapanku. Perlahan aku naik sembari meletakkan selembar kertas di atas tempat duduk. Kami meluncur bak ketek uzur melintasi mulut muara, bunyi motornya sungguh menjengkelkan. Betapapun demikian, dia telah menyelematkanku dari tatapan nanar Pak Jafar, kepala sekolahku. Setiba kami di sekolah, aku terkejut sekaligus berdecak rasa penasaran perihal orang-orang sedang berkerumun di luar halaman sekolah. Lebih terkejutnya lagi, di saat aku melihat asap hitam mengepul dari gedung sekolah kami. Samar-samar terdengar, gedung berwarna putih itu, gedung yang selama ini menjadi tempat belajar kami dibakar tadi malam oleh orang tak dikenal. Api itu melahap tiap jengkal properti sekolah, pintu, jendela, tong sampah, serta kayu penopang seng, hangus ditindas oleh api buduk itu.
“Sekitar jam dua pagi,” kata salah seorang penduduk desa Padani ke istrinya yang masih mengenakan sarung.
Pak Jafar terduduk di atas rumput. Kepalanya menggeleng seakan beliau tidak percaya apa yang sedang terjadi. Tak lama kemudian masyarakat Padani bubar, tinggal para guru dan beberapa dari kami di tempat itu. Asap perlahan hilang menyisakan bara panas. Kami diajak masuk untuk melihat apa yang bisa diselamatkan. Meja, kursi, buku-buku ikut terbakar habis. Tak ada yang tersisa sedikitpun. Setelah melihat satu sama lain. Lantas Pak Jafar selaku kepala Sekolah memerintah kami untuk pulang. Kami pun bubar, toh tidak ada lagi yang bisa kami lakukan selain meratapi kejadian itu penuh pilu. Sekolah sejatinya buat mendidik anak bangsa agar tidak terjerembab ke dalam kebodohan ikut menjadi korban kebiadaban konflik tak berkesudahan. Anehnya, kejadian ini selalu ditutupi dengan gelagat misteri alias tidak ada yang tahu, sebab, penyebab dan pelaku itu sendiri, tidak ada yang tahu siapa yang melakukan perbuatan terkutuk ini tapi setidaknya tragedi pilu ini bisa mengajarkanku satu hal bahwa negeriku ini masih mengutuk manusia ber-ilmu. Di mata mereka sekolah adalah dan harus dimusnahkan.
Dengan perasaan penuh haru aku pulang bersama Syamaun. Mulutnya tak pernah diam mencaci orang yang melakukan perbuatan biadab itu.
“Bajingan, hanya orang-orang terkutuk yang melakukan itu, Tariq,” katanya geram.
Aku hanya mendengar suaranya samar-samar. Lalu dia melanjutkan kata-kata bijaknya “Asal kau tau Riq, aku memang tidak sekolah. Aku pemalas, aku bahkan tak bisa membaca dan menulis. Tapi ingin kutegaskan padamu Riq, aku mengutuk perbuatan itu, biadab!” Matanya mengawasi kiri-kanan jalan.
Mendengar kata-kata itu, aku makin terharu. Syamaun tukang ojek dan pemalas ini sadar bahwa perbuatan itu adalah perbuatan para biadab. Beberapa menit kemudian kami pun sampai di kampung tercinta. Syamaun yang mulutnya tak pernah diam langsung menghampiri sekerumunan orang di kedai kopi Bang Ja. Beberapa orang terlihat sedang bertukar cerita tentang kejadian semalam. Mulut para pecinta kedai kopi yang penakut itu terdiam manakala Syamaun bercerita tentang apa yang disaksikannya. Tak lain bangunan sekolah kami dibakar. Dari depan depot Muslem, aku melihat tangannya bergerak-gerak suaranya yang bernada keras itu dengan jelas bisa kudengar. Dia sedang melebih-lebihkan tentang peristiwa tadi.
“Bangunan itu sudah jadi debu, bahkan seluruh halaman sekolah Tariq terbakar,” katanya menggebu-gebu.
Di antara penduduk tetap kedai kopi Bang Ja terdapat Syeh Amad, kumisnya naik turun. Matanya begitu awas menatap gaya Syamaun berbicara. Aku masuk ke dalam depot Muslem. Selebihnya tidak tahu apalagi yang keluar dari mulut Tukang Ojek Pemalas itu.
Muslem masih sibuk memilih ikan-ikan dan kemudian dimasukkan ke dalam fiber berwarna kuning. Aku duduk masih dengan seragam sekolah memikirkan kejadian yang memilukan tadi. Seharusnya jam segini aku sedang melihat senyum Bu Kalsum di kelas. Membayangkan lidahnya tergulum di saat membaca kata-kata Bahasa Inggris. Wajahnya yang cantik cukup membuatku betah dan bahkan membuatku tertarik dengan bahasa asing itu. Juga membayangkan kumis Pak Jafar yang kian menguning akibat asap rokok dan terkekeh di saat mendegar nada bicaranya yang susah mengeja huruf r .
“Kemali kalian, jangan lali,” katanya di saat memanggil kami.
Mendengar kata-kata itu, aku yang sudah mengerti bahasa Indonesia tertawa sampai terpingkal-pingkal. Bahkan gayanya yang seram itu raib seketika manakala kata-kata itu keluar dari mulutnya. Kemudian terbawa lagi ke Mursyid, Penjaga Sekolah sekaligus pengedar ganja di Padani itu. Membayangkan kantinnya yang kosong dan mungkin juga kantin itu sudah dipenuhi manusia-manusia berbaju loreng atau bisa jadi kantinya sudah menjadi debu.
Muslem masuk. Pikiranku langsung buyar. Dia terheran kenapa aku tidak pergi ke sekolah, namun setelah aku cerita peristiwa itu dia baru mengerti bahwa sekolah sudah menjadi bahan bakar para manusia laknat untuk mengacaukan keadaan. Karena dengan itulah mereka dianggap masih melakukan perlawanan. Membakar dan menebas pohon-pohon di jalan adalah langkah yang tepat untuk menunjukkan bahwa apa yang mereka lakukan demi perjuangan. Bah! Hanya pengecutlah yang melampiaskan kemarahan kepada benda-benda tak berdosa itu, pikirku.
Setelah terlibat percakapan kecil. Aku pamit pulang. Seperti biasa Kakek menikmati sisa pagi di balai teduh yang makin lapuk. Sebagian papan sudah dimakan rayap lapar. Melihatku pulang sekolah begitu cepat, membuatnya bingung bukan kepalang, apa yang sedang terjadi. Lantas, aku mendekatinya dan menceritakan alasannya.
“Bedebah, bajingan manusia laknat!” Sumpah serapahnya keluar dari mulutnya disusul batuk yang masih belum mau minggat dari kerongkongannya.
Aku memegang tubuh ringkih dan mengelus punggunya berharap beliau bisa tenang karena itu adalah semacam musibah yang tak direstui oleh Tuhan.
“Semoga bangunan lain masih selamat, Tariq,” katanya penuh harap.
“Semoga!” Aku mengamininya.
Cerita demi cerita, memerlukan waktu yang panjang untuk memahaminya. Sebenarnya saya masih bingung dengan teknik skimming yang saya gunakan.
The best brother @abduhawab
ya..biar ia mengalir apa adanya, toh kita masih belajar.most welcome @bangmimi
Kisah ini sungguh inspiratif, khusus untuk pak Jafar, kumisnya dikasih warna hitam biar nggk terlalu kuning, dan segera bisa ngomong huruf "R"
untung cerita ini sebuah fiksi, klo benaran sudah dluan saya yang cok silop ketika di sumpah serapah begitu. bingkeng sekali :D
haha...cok silop cok silop, lagee lago sagoe jeh..thank bro
Butuh beberapa waktu untuk menuntaskan cerpen ini saya sangat senang akhirnya keluar juga fiksi yang selalu saya nanti-nantikan dari bg @abduhawab dengan suasana dingin seperti ini fiksi ini telah membuat saya terhipnotis, ditunggu next nya bang
Tulisan yang hebat bang @abduhawab, penuh dgn imajinasi yang menghentak. Salam hangat dari 1200 m dpl.
Halusinasi habis baca ini :'(
ah...yang benar,heheh. thank anyway
Cerita fiksi yang menarik bang @abduhawab. Aku sangat menikmatinya. Apalagi pas bagian Pak Jafar yang berbicara. 😂😂😂
Semoga sehat selalu bang serta diberikan umur yang panjang lagi bermanfaat. Aamiin.
Hihi... Ada ulok nya juga bang @abduhawab. Jadi ketawa sendiri ni. Hee
Keren
Cerpennya keren. Imajinasinya tinggi
hehe....terima kasih @nyakti