Renungan Sebelum Menyeruput Secangkir Kopi
Sedikit kita renungi arti hidup menurut pola hidup yang kita jalani. Kita terus saja mencari harta untuk membangun dan membangun kemegahan gaya hidup. Rumah mewah, mobil mewah, usaha berlimpah, esepsi kerajaan bisnis dimana-mana, dan mental bankir. Kita mampu membeli segalanya, semua hiasan dunia. Wanita cantik, makanan enak, pakaian mahal, dan aset berlimpah.
Mari kita lihat sekitar, seberapa sering kita berkumpul di tengah sosialis-sosialis kampung tempat kita bernaung? seberapa ponggah kita gulung lipatan tangan baju untuk bahu-membahu membangun kampung, tempat kita beranak-pinak? seberapa besar jiwa kita membagi sedikit kebahagiaan untuk mereka fakir miskin dan anak yatim?
Kita begitu takluk dengan dunia yang pada hakekatnya hanya memperbudak melalui teknologi dan topeng busuk peradaban. Mari, sama-sama kita gagas keramahan pada sekitar, rasa sosial pada alam, tenggang rasa dan sering mengayomi mereka-mereka yang berada di bawah.
Dan perlu kita pahami, di sinilah semewah-mewahnya rumah terkahir kita. Di sinilah seabadi-abadinya bilik peraduan kita. Kita hanya seonggok nyawa yang mencari keridhaan Tuhan, mencari pahala melalui gejolak alam, mencari kebaikan melalui peperangan, dan teruslah menabur benih-benih kebaikan agar hidup yang kau nantikan benar-benar mampu membuat jiwamu Damai.
Hidayatullah Habibi
Batas akhir selalu ada.
Batas akhir adalah penantian abi. Tak ada yang dapat mengelak.
hidup adalah menenun hari untuk jadi selembar kafan
Benar bang.
Tak ada yang dapat kita banggakan pada tubuh yang berlumur dosa ini selain mengingat kematian.
Kata-katanya puitis, sekaligus menusuk sumsum untuk segera sadar apa arti hidup dan apa arti ketiadaan.
Terima kasih bang.
Salam kenal ya bang.