Ini Sekolah Kami | This Is Our School
IND | ENG
HASANAH, salah seorang guru honor, sedang mengajar di kelas III MIS Sirajul Huda, Jumat pekan lalu | HASANAH, one of the honor teachers, was teaching in the third class of MIS Sirajul Huda, last Friday
NAMA ACEH kian sohor di mata masyarakat Internasional setelah musibah Gempa disertai Tsunami meluluhlantakkan daerah ini, Minggu, 26 Desember 2004.
Paska musibah itu, bantuan kemanusiaan dari masyarakat dunia mengalir deras ke provinsi paling barat di Negara Republik Indonesia ini.
Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh, yang nyaris rata dengan tanah setelah gempa berkekuatan 9,3 skala richter tersebut, sukses direkontruksi hanya dalam tempo lima tahun.
Bahkan, kota tua tempat Jenderal Kohler tewas saat menyerang kerajaan Aceh 14 April 1873 ini, dibangun jauh lebih indah dan megah dibanding sebelum Tsunami 2004. Kabupaten lain yang terkena dampak tsunami juga ikut kejiprat bantuan, termasuk sekolah-sekolah.
Jenderal Kohler | Generaal Kohler | Source Photo Wikipedia
Sejarah juga mencatat, Aceh dari dulu dikenal sebagai negeri makmur. Kaya sumber daya alam, terutama minyak dan gas. Walau demikian, bukan berarti rakyat Aceh yang saat ini berjumlah sekitar 5,2 juta jiwa semuanya sudah hidup sejahtera.
Data Penduduk Miskin Di Aceh | Data of the Poor in Aceh | Source Data BPS
Ribuan rakyat Aceh masih tinggal di rumah tidak layak huni. Bahkan, di Aceh juga masih ada sekolah yang gedungnya terbuat dari papan bekas, mirip sekolah zaman kolonial Belanda.
Salah satu sekolah itu adalah Madrasah Ibtidayah Swasta (MIS) Sirajul Huda, di Desa Alue Ie Mirah, pedalaman kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur. Desa ini terpaut sekitar 20 kilometer, arah selatan Lhoknibong—pusat kecamatan Pantee Bidari.
MIS Sirajul Huda
Jika mengendarai mobil atau sepeda motor, kita butuh waktu sekitar 30 menit perjalanan dari Lhoknibong, dengan kondisi jalan sebagian beraspal mulus, sebagian aspal usang yang sudah terkelupas dan sebagian lagi jalan batu berdebu.
MIS Sirajul Huda didirikan tahun 1998. Gudang bekas penyimpanan material proyek jembatan, dengan ukuran 4x3 meter, dijadikan sebagai ruang belajar darurat perdana.
Beberapa tahun kemudian, seiring bertambahnya murid, proses belajar mengajar dipindahkan ke bangunan bekas pasar dekat kantor kepala desa.
Tahun 2008, Departemen Agama Republik Indonesia membangun tiga Ruang Kelas Baru permanen, dan setahun kemudian, aktivitas belajar mengajar dipindahkan ke gedung baru itu.
Namun, karena jumlah murid kelas I hingga VI saat itu mencapai 166 orang, masing-masing ruang kelas permanen tersebut terpaksa disekat dua. Artinya kelas satu dan dua digabung dalam satu ruang. Begitu juga kelas tiga hingga kelas enam.
Murid Kelas III MIS Sirajul Huda | Students Third Class MIS Sirajul Huda
Tak tega melihat anak-anak duduk berdesak-desakan dalam ruang sempit, sekitar tahun 2014, masyarakat Desa Alue Ie Mirah sepakat membangun tiga ruang kelas sementara, dekat ruang kelas permanen. Ruang kelas dibangun dari kayu bekas, beratap daun rumbia dan berlantai tanah. Warga berharap, kelas darurat itu tahan minimal dua tahun, sambil menunggu ruang kelas baru permanen dari pemerintah.
Sayangnya, ruang kelas baru permanen yang ditunggu-tunggu tak kunjung turun. Sementara kondisi ruang kelas darurat semakin renta. Pada musim hujan, lantai sekolah becek seperti sawah selesai dibajak, karena atapnya bolong-bolong.
Atap MIS Sirajul Huda | Roof of MIS Sirajul Huda
Begitu juga dinding sekolah yang terbuat dari papan bekas. Ayam dan kambing bebas keluar masuk. Bahkan, adakalanya, anak-anak terpaksa bergotong-royong membersihkan kotoran ayam dan kambing sebelum belajar, karena ruang kelas mereka dijadikan sebagai kandang ternak pada malam hari.
Dinding MIS Sirajul Huda | Wall of MIS Sirajul Huda
Demikian cerita sekolah di negara kami. Bagaimana dengan kondisi sekolah di negara Anda? Mudah-mudahan kisahnya lebih menyenangkan. :)
ENGLISH
NAME OF ACEH increasingly popular in the international community after the earthquake with Tsunami devastated this area, Sunday, 26 December 2004.
After the disaster, humanitarian aid from the world community flowing profusely to the westernmost province in this Republic of Indonesia.
Banda Aceh, the capital of Aceh province, which is almost flat with the ground after the magnitude 9.3 earthquake, successfully reconstructed in just five years.
In fact, the old town where General Kohler died while attacking the Aceh kingdom, 14 April 1873, was built much more beautiful and majestic than before. Other districts affected by the tsunami also received assistance, including school buildings.
MAKAM Jenderal Kohler di Banda Aceh | General Kohler's grave in Banda Aceh | Source Photo Wikipedia
History also noted, Aceh was formerly known as a prosperous country. Rich of natural resources, especially oil and gas. However, it does not mean that the people of Aceh who currently number 5.2 million people all live prosperous.
The Acehnese who live in uninhabitable homes are still thousands. Even, in Aceh there are also schools whose buildings are made of used boards, much like school of Dutch colonial times.
One of that schools is the private Madrasah Ibtidayah (MIS) Sirajul Huda, in the Village Alue Ie Mirah, inland Pante Bidari, District East Aceh. This village position is about twenty kilometers, south of Lhoknibong - the capital city of Pantee Bidari sub-district.
If you drive a car or motorbike, it takes us about 30 minutes drive from Lhoknibong, with road conditions partially smooth, partly damaged and partly a dusty stone road.
The MIS Sirajul Huda was established in 1998. The warehouse of bridges material storage material, with a size of 4x3 meters, was used as an initial emergency study room. Several years later, as students grew, the teaching and learning process was moved to a former market building near the village head office.
In 2008, the Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia built three permanent New Classrooms, and a year later, teaching and learning activities were transferred to the new building.
But, because the number of students at that time reached 166 people, first class to class VI, each space is partitioned two. This means the first and second classes are combined in one space. So is the third to sixth grade.
Unable to see children sitting in crowded rooms, around 2014, Alue Ie Mirah Village communities agreed to build three temporary classrooms, near permanent classrooms. The classroom was built of secondhand wood, rumbia leaf roofs and ground floors. Residents hoped that the emergency class would last at least two years, while waiting a new permanent classroom from the government.
Unfortunately, until now, the permanent classroom is not yet build. While the emergency classroom conditions are getting old. In the rainy season, the school floors are muddy like the rice fields are hijacked, because the roof is hollow.
So is the school wall made of used boards. Chickens and goats are free in and out. Sometimes, children are must to work together to clean up chicken and goat litter before studying, because their classrooms are used as cattle pens at night.
STUDENTS of MIS Sirajul Huda when they comes home from school
That's the school story in our country. What about school conditions in your country? Hopefully the story is more happy. :)
Best Regards From me in Aceh
@musyawirwaspada
Sedih sekali pemandangan ini, hampir sama dg kondisi di daerah saya juga yang dikenal MIS laskar pelangi, namun seiring berkat bantuan semua pihak dan wartawan kini mulai diperbaiki sedikit demi sedikit.
hi @musyawirwaspada ini adalah postingan yang sangat menarik, muda2han pemerintah setempat segera menindaklanjuti TKP, dan anak2 disana bisa mendapatkan pelayanan pendidikan yang lebih baik, :)
Amin...semoga demikian @myaceh. Terimakasih banyak sudah berkenan singgah, upvote dan meninggalkan jejak di kolom komentar. Salam takzim.
Miris sekali potret pendidikan di daerah kita my chairman @musyawirwaspada. Apakah memang tidak pernah tersentuh atau pemerintah tidak mau melihatnya. Semoga segera ada jalan penyelesaiannya.
Biasalah adinda @zamzamiali. Ini persoalan klasik yang dihadapi sekolah berbasis madrasah di Aceh, yang notabene bersyariat Islam. Miris memang. Sekolah agama di Aceh terkesan dinomorduakan oleh pemerintah daerah, dengan dalih berada dibawah naungan Kemenag yang tunduk langsung ke pemerintah pusat. Padahal, disisi lain banyak juga lembaga vertikal yang hampir tiap tahun rutin mendapat suntikan dana segar dari pemda. Smoga kedepan lahir kebijakan yang memihak sekolah agama di Aceh. Amin..
Amin bg @musyawirwaspada. Kita berharap, pemerintahan Irwandi-Nova yang baru berumur 100 hari ini dapat segera menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi termasuk permasalahan di Madrasah.
Goet post nyoe saleum adinda @musyawirwaspada semoga bagah na bantuan keu rumoh sikula nyan.
Amiiin....sabah beuluwah that abangda @ilyasismail. Saleum takzeem. Jangan patah semangat karena @cheetah, terus berkarya demi membumikan steemit di bumoe nurul akla. Keep spirit Bro. U can do it. ☺
Itulah gambaran sosial kita, apa adanya, tp dari kekurangan itu tdk sedikit jg mlahirkan sosok pemimpin negeri ini
Betul ketua @bahtiarlangsa. Pemimpin tangguh memang lahir dari tantangan dan lingkungan yang berat. Terimakasih banyak sudah berkenan singgah dan meninggalkan komentar, ketua. Salam takzim.
Sepakat ketua @bahtiarlangsa
.Saya salut dengan ketegaran, kesabaran dan kemandirian orang aceh.
Terimakasih banyak Mas @kunrishartanto. Kami juga belajar banyak dari keuletan dan kegigihan saudara sebangsa dari pulau jawa. Salam hormat. ☺
Ya mas @kunrishartanto ketegaran, kesabaran dan kemandirian orang aceh adalah warisan indatu untuk negeri syariat.
Fantastic work Thank you :)
Thanks you @deepweeb ☺
Info yang sangat mulia, untuk sepanjang masa.
Terimakasih pak @terpia. Salam takzim. ☺
Hidden