Bagaikan di Tepi Jurang
Dear life,
Kak, hari ini ada yang mengatakan padaku, aku harus bersabar, aku harus mengiyakan perkataan mereka, aku harus bersikap lebih baik lagi, aku harus menghormati mereka. Sepandai apapun aku, aku tetaplah bawahan yang harus tunduk pada atasan. Aku bukan apa-apa. Demi memenuhi kebutuhan hidup dan bertahan di rantau, aku harus ekstra sabar.
Apa aku kuat Kak? Bantu aku untuk kuat.
Memahami sesuatu yang hanya terlihat mata, ternyata sulit Kak. Mereka hanya mendengar, melihat sebatasnya, mereka tak pernah tahu rintihan jiwa ini. Mereka tak mengerti kisah dibalik kata yang terucap, cerita dibalik ekspresi yang bersandiwara. Mereka hanya pengamat Kak. Pengamat yang harus kuikuti. Pengamat yang mengatakan kehidupanku belum seberapa dibanding dirinya. Bukankah manusia memiliki kadar cobaan yang berbeda kemampuannya. Sederhana mereka, perih bagiku.
Kak, posisiku bagaikan di tepi jurang. Jika aku lengah, aku akan jatuh, jika bertahan kaki ini goyah. Melangkah saja butuh pertimbangan, bayangan jurang curam itu menghantui pikiran, sebelum tindakan dilakukan. Jika ada yang menarikku, mungkin aku akan terbebas. Tapi, adakah yang mampu melakukan itu? Adakah yang mampu memandang mata yang penuh harap ini? Adakah yang bisa membaca rintihannya?
Kak, akankah bahagia itu datang? Bilakah yang memahami itu hadir? Bolehkah aku meminta bahagia itu segera.
Terkadang aku bagaikan berdiri dalam ikatan sebuah rantai, gerakku terbatas, melakukan apapun penuh pertimbangan. Semua tindakanku harus sempurna, tak boleh melukai siapapun, menjaga perasaan orang sekitarku, menjaga nama baik semua yang terlibat dalam hidupku. Entahlah, apa mereka juga melakukan hal yang sama.
Kak, gantimu tidak adakah di dunia ini? Orang yang memahamiku, mengerti camukan amarahku, sandaran jiwa lemahku, tawa dikala sedihku, semangat dikala gelisahku, penuntun langkah yang kadang tak tentu arah. Kak ... Kemana lagi kuadukan perih ini? Siapa lagi yang mampu memahami ini?
Kak ... Mintakan Pada Allah mengirim bahagiaku.