BERPIKIR KRITIS BAGI KETAHANAN DAN PERKEMBANGAN BANGSA
Rakyat dari negara yang sudah maju umumnya memiliki minat baca tinggi dan daya berpikir kritis yang sangat tajam. Pengembangan daya pikir kritis itu menunjukkan sikap memuliakan Sang Pencipta yang menganugerahi manusia akal budi. Bukankah manusia disebut animal rationale atau binatang yang berpikir (Aristoteles)?
Berpikir kritis itu kodrati dan hakiki serta membuat manusia menjadi sehat rohani dan jasmani. Bukankah dengan itu otak manusia selalu segar sehingga dapat mengatur seluruh koordinasi tubuh secara baik? Karena itu, berpikir kritis membuat suatu bangsa jadi sehat.
Warga negara yang berpikir kritis sanggup memahami masalah dari sudut pandang objektif-rasional. Mereka jarang terjebak dalam pendekatan subjektif-emosional yang kadang lebih menciptakan masalah baru daripada menyajikan solusi.
Sayangnya, di Indonesia latihan mempertajam daya pikir kritis ini belum umum dipraktikkan. Mayoritas murid dan mahasiswa lebih dididik untuk menghafal (memorizing) dan mengikuti jawaban yang sudah disediakan oleh para guru atau dosen daripada ditantang untuk menyajikan solusi unik dan benar berdasar nalar.
Belum lagi tayangan-tayangan di media, baik elektronik dan sosial kadang menampilkan orang-orang yang berbicara tanpa logika dan pikiran kritis. Lebih jelek lagi, sebagian rakyat mudah percaya bahwa yang dikatakan dan dipraktikkan oleh khalayak ramai (massa) lewat media itu pasti benar. Mudah dijumpai orang yang suka ikut-ikutan. Akibat miskin daya pikir kritis banyak orang mudah menjadi korban opini, informasi, berita dan analisa yang melawan logika. Apalagi, kini masyarakat didominasi budaya instan.
Daya pikir kritis itu bukan hasil proses spontan dan instan. Tidak jatuh dari langit dan bisa dicapai dalam semalam. Daniel Levitin (ahli ilmu syaraf dari Amerika) menulis:”Critical thinking is not something you do once with an issue and then drop it. It requires that we update our knowledge as new information comes in. Time spent evaluating claims is not just time well spent. It should be considered part of an implicit bargain we've all made.” Tradisi belajar yang kuat, baik dan benar berada di balik kemampuan berpikir kritis.
Era industri 4.0 membutuhkan orang yang belajar, berpikir kritis dan menggunakan rasionaaitasnya untuk mengantisipasi perkembangan yang sulit diprediksi. Mereka memanfaatkan komputerisasi pabrik yang mengandalkan artificial intelligence dan rekayasa daya pikir kritis.
Suatu negara akan sukses memasuki dan mengambil manfaat dari era industri 4.0 jika lebih dahulu telah membentuk dan membiasakan warganya berpikir kritis, rasional dan objektif-rasional. Selama mayoritas bangsa lebih berpegang pada keseragaman dan penyeragaman, semua daya pikir kritis tersumbat dan mulut cenderung ikut bersuara bulat-bulat. Takut secara kritis menggugat!
MoBert010518
Amazing post! I love it. Hey UPVOTE my post: https://steemit.com/life/@cryptopaparazzi/chapter-one-let-there-be-the-man-and-there-was-a-man-let-there-be-a-woman-and-there-was-sex and FOLLOW ME and I ll do the same :)