Cabe-cabean dan kesalahan relawan
Sejak di bangku sekolah menengah, saya kerap terlibat dengan berbagai kegiatan berbasis kerelawanan. Kegiatan ini berlanjut hingga saya duduk di bangku kuliah. Pada tahun 2009, saya bergabung dengan sebuah kelompok relawan yang memberikan pengajaran bahasa Inggris dan pendidikan karakter kepada anak-anak jalanan di sebuah tempat di Jakarta Utara.
Sebelumnya, kelompok ini melakukan kegiatan di sebuah GOR di Jakarta Pusat. Alasan utama teman-teman ini pindah ke tempat baru adalah karena mereka tidak tahan melihat fakta bahwa sebagian anak-anak yang mereka ajar ternyata dipaksa oleh orang tuanya untuk menjual diri. Mereka adalah anak perempuan dan lelaki berusia antara 10-13 tahun.
Jadi, proses kegiatan di tempat ini tadinya berjalan normal selama sekitar dua tahun. Relawan mendatangi mereka setiap hari Minggu pagi selama dua jam. Kegiatannya adalah bermain sambil belajar. Anak-anak senang, demikian pula para relawan.
Sampai suatu ketika seorang pemuda, yang menjadi koordinator di lokasi, bercerita kepada para relawan bahwa dirinya merasa kasihan kepada anak-anak tersebut. Hampir setiap malam, orang tua mendandani anak-anak itu untuk dilacurkan. Rata-rata pelanggan mereka adalah para pedofil (homo maupun hetero) dari kalangan sopir, tukang becak, dan orang-orang yang bekerja di sekitar stasiun.
Pascacerita ini, teman-teman syok berat. Semua terbengong mendengar cerita Bang Kucun, sebut saja namanya demikian.
“Saya tak sanggup lagi melihat mereka,” kata seorang teman relawan sambil berkaca-kaca.
Teman-teman kemudian memutuskan untuk mencari tempat baru. Mereka tidak kuat untuk berbagi penderitaan dengan anak-anak malang tersebut.
Di tempat baru ini, di Jakarta Utara, kami berhadapan dengan anak-anak pengamen, pengemis, penyemir sepatu dan anak-anak dari keluarga sangat miskin Jakarta. Membutuhkan waktu satu tahun bagi kami untuk membuat mereka dapat tertib mengikuti aturan—rentang fokus mereka pun sangat pendek. Di tempat ini, kami mengadakan kegiatan dua kali sebulan. Dua hari Minggu yang lain kami gunakan untuk berkegiatan di beberapa tempat seperti panti asuhan, masjid atau gereja.
Sampai sekitar empat tahun berjalan, kami tak mendapati cerita serupa kejadian di Jakarta Pusat kecuali fakta bahwa orang tua telah mengeksploitasi mereka untuk berkelana di jalanan, hingga teman-teman dan saya melakukan kegiatan di Jakarta Selatan, di sebuah lokasi pemulung. Di tempat ini, kami mengajari anak-anak bahasa Inggris dan mengaji di sebuah mushalla.
Beberapa anak memutuskan untuk tidak ikut kegiatan kami ketika mereka sudah masuk usia SMP. Zara adalah salah satu dari mereka yang tidak lagi ikut serta. Dia drop out dari sekolah formal saat kelas 4 SD. Setahun berhenti, dia mengutarakan niat untuk kembali sekolah, sampai membuat kami merasa perlu untuk mencarikan dana untuk seragam, sepatu dan buku.
Zara kembali sekolah, tapi hanya beberapa minggu. Dia berhenti sekolah lagi dengan alasan tak pernah dibangunkan oleh orang tuanya. Lagipula, sejumlah buku yang kami belikan sudah dijual oleh ayahnya, seorang pecandu narkoba. Zara secara total berhenti mengakses pendidikan (termasuk bersama kami) sejak teman-teman sebayanya lulus SD.
Pada tahun 2016, saat berusia 13 tahun, Zara hamil di luar nikah dengan seorang remaja berprofesi kuli. Pacar yang menabur benih tak sudi memanen hasil tanamnya, Zara pun harus melakukan aborsi demi apa yang disebut menutup aib.
Beberapa bulan pasca-aborsi, Zara semakin berani membuka paha kepada pria mana suka. Dia mengobral diri menjadi cabe-cabean—seperti itu kata orang. Saya sendiri pernah menyaksikan langsung bagaimana dia berdandan menor dan berpakaian seksi di senja hari di sebuah pintu gang. Sebuah mobil van menghampiri untuk membawanya entah ke mana. Pernah pula saya lihat dia digondol anak muda menggunakan mobil angkot.
Zara seperti itu setelah ayahnya diciduk aparat karena kasus narkoba dan ibunya kabur ke Sumatera. Zara tinggal dengan sang nenek di rumah kontrakan yang kurang layak. Meskipun sang ibu mengatakan ke Sumatera untuk bekerja, tetangganya menebar gosip bahwa ibu Zara ke Sumatera untuk melacur.
Apakah hanya Zara yang seperti itu?
Kalian pasti menduga “TIDAK”, dan memang seperti itu jawabannya. Zara tak sendiri, beberapa temannya (dan tentu saja ikut belajar bersama kami) pun ada yang seperti itu: ada yang hamil di luar nikah saat masih SMP, ada pula yang mengeksploitasi ketubuhannya demi rupiah seperti Zara.
Mendapati fakta seperti ini tentu sangat menyakitkan bagi kami, para relawan, jauh lebih menyakitkan ketimbang dituduh mencari uang dengan darma tersebut oleh sebagian orang yang sinis dengan aksi kerelawanan.
Kembali kepada Zara. Saat ini, dia pergi entah ke mana. Menurut “informan” kami, dia sedang menyembunyikan diri karena kembali mengandung. Tak diketahui itu benih siapa. Lagipula, sudah bayar masa harus cuci piring?! Zara pasti mengetahui aturan ini.
Tanyaannya, “kok bisa seorang cabe-cabean hamil?”
Nah, mungkin ini kesalahan para relawan, termasuk saya. Kami tidak pernah mengajarkan materi seksologi, terutama bagaimana melakukan hubungan seks tanpa risiko bunting, sehingga Zara harus hamil dua kali; bahkan ketika dia sudah menjadi cabe-cabean sekali pun.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://rimanews.com/opinion/education/read/20180217/328057/Cabe-cabean-dan-kesalahan-relawan/