TIUNG TERORIS

in #cerpen-mini7 years ago (edited)

karya: Nizam Al-Kahfi PKB

‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍
Aku baru pindah ke rumah kecil kos rendah bayar cicilan. Sempena perpindahan itu seorang teman menghadiahkan aku seekor tiung dengan sangkar yang cantik.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "Untuk menemanimu," kata kawanku itu.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Tiung itu berbadan cokelat gelap, warna hitam di kepala seperti kerudung. Ada warna kuning emas di belakang matanya, paruhnya berwarna oranye dan kakinya kuning, dan secalit putih pada lapisan sayap bawahnya. Ia seekor tiung yang biasa saja. Setiap pagi saat aku mau berangkat kerja, ia menyapa dengan sopan seperti yang telah kudiktatkan berulang-ulang selama satu bulan lebih.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "Assalamualaykum, Mas Ganteng," tuturnya. "Moga harinya bahagia dan segala urusan dipermudahkan. Moga cepat ketemu jodohnya, ya."
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "Waalaykumussalam," kataku. ‍‍‍‍‍‍ "Amin."
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "Amin," tuturnya.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Tiung ini hanya aku yang bisa mengajarnya karena ia kukurung di dalam sangkar di kamarku, karena itu aku kaget separuh mati apabila satu pagi ia menyapaku dengan sumpahan.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "MOGA KAUMATI HARI INI," tuturnya dengan logat aneh. Suaranya bas, mendalam seperti keluar dari dalam dada.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Tidak mungkin ada sesiapa yang bisa masuk ke rumah kecilku yang sentiasa berkunci. Di rumah ini aku tinggal bersendirian. Tidak mungkin juga ia bisa belajar pertuturan baru dalam masa sesingkat satu malam.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "AKAN KUBUNUH KAU!" Ada sesuatu pada suara itu yang meneror bagi yang mendengarnya. Aku menantang matanya. Ia memandangku dengan matanya yang berwarna merah. Merinding aku dibuatnya.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Ia hanya tiung biasa, kataku di dalam hati, mungkin saja ia sudah kesurupan. Apalagi rumahku ini, menurut cerita orang, di atas kubur tiga orang Jepang yang harakiri Perang Dunia II dulu. Tiung itu tidak tahu apa-apa; sudah pasti tidak paham apa yang dituturkannya. Dengan kapasitas otaknya yang nol, ia tidak punya kemampuan intelektual. Tidak punya akal - cuma merekam apa yang didiktatkan, dan memainkan rekaman itu. Entah setan mana yang telah mendiktatnya. Apapun aku tidak mau diintimidasi, dan pantang sekali diteror, apalagi oleh seekor tiung - kesurupan atau tidak kesurupan. Percuma aku memberinya makan. Aku sudah tidak ingin memeliharanya lagi.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Aku membawa sangkar itu ke luar rumah, dan melepaskannya terbang. Untuk beberapa hari ia terbang keliling desa, hinggap di dahan-dahan pokok di tepi jalan, meneror orang yang lalu di bawahnya.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "AKAN KUBUNUH KAU! SETAN!"
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Meski hanya seekor tiung, banyak juga yang berasa terganggu lalu membaling batu menghalaunya. Setelah menghilang sepekan dua, ia akan kembali lagi meneror ke desaku yang aman (barangkali setelah meneror dan dihalau dari desa-desa yang lain).
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "MOGA KAUMATI HARI INI!"
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "AKAN KUBUNUH KAU!"
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ "SETAN!"
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ Kami menggelarnya Teroris Tiung.

© cerita-secangkir-kopi-nak07092017