“Penulis Musiman”
HAMKA, salah seorang penulis besar di Indonesia
Foto: Panji Masyarakat, 1977/ Koleksi @tinmiswary
Dalam kehidupan sehari-hari kita tentu sudah akrab dengan istilah pedagang musiman. Disebut musiman sebab mereka hadir dan muncul hanya pada musim-musim tertentu. Pedagang durian misalnya, hanya muncul pada musim durian. Demikian pula dengan pedagang “tujuhbelasan” hanya hadir ketika peringatan Tujuh Belas Agustus, selepas itu mereka kembali ke “habitatnya.”
Pada saat tahun ajaran baru, kita pun sering menyaksikan para pedagang buku dan alat tulis yang membuka lapaknya di pusat-pusat kota, dan bahkan di pelosok desa. Biasanya mereka membawa buku-buku dan alat tulis dalam keranjang yang dipasang di bagian belakang sepeda motor. Sepanjang tahun ajaran baru itu mereka berkeliling ke sana kemari mencari pembeli. Ketika tahun ajaran baru sudah lewat, keranjang yang selama ini berisi buku dan alat tulis kembali dimasuki kambing atau itik. Sebab sehari-hari mereka berjualan itik atau kambing ke pasar. Pedagang serupa ini pun masuk katagori musiman.
Tidak hanya dalam dunia dagang, istilah “musiman” juga bisa ditemukan dalam profesi lainnya, seperti politisi musiman, tokoh musiman, dermawan musiman dan ustaz musiman. Mereka hanya hadir pada momen tertentu saja sehingga label “musiman” pun menjadi wajar dilekatkan kepada mereka.
Jika ditelisik, sosok-sosok “musiman” juga hadir dalam dunia kepenulisan (dulu disebut karang-mengarang). Seperti halnya sosok musiman yang lain, penulis-penulis musiman juga muncul pada musim tertentu. Mereka tiba-tiba menjadi penulis didorong oleh “kepentingan” tertentu seperti kepentingan mengurus pangkat, menyelesaikan tugas kuliah (makalah, skripsi, tesis dan disertasi) atau pun untuk kepentingan mengejar target program tertentu.
Pramoedya Ananta Toer, Penulis besar di Indoneia
Buku Koleksi @tinmiswary
Di Kabupaten Bireuen, tempat saya menetap misalnya, sedang “panas-panasnya” semangat menulis di kalangan guru dengan program yang mereka sebut “SaguSabu” (satu guru satu buku). Bahkan beberapa waktu lalu (hasil pantauan di facebook), sejumlah buku hasil karya guru Bireuen telah diluncurkan. Sebagai warga Bireuen, dan guru pula, secara pribadi saya sangat mengapresiasi program tersebut. Dan tentunya kita patut berbangga dengan kesuksesan ini.
Namun demikian, ada sedikit kekhawatiran jika geliat kepenulisan di Bireuen hanya sebatas aksi musiman. Memang sampai saat ini belum ada riset terkait kemunculan penulis-penulis tersebut, apakah dilatari oleh kesadaran intektual, atau hanya sebatas “action” (dalam pengertian gaya-gayaan) belaka? Tentu hanya mereka yang mampu menjawab.
Nah, kira-kira apa ada yang salah dengan kehadiran penulis musiman? Jawabannya adalah tidak. Justru kita patut bergembira dengan kehadiran mereka, sebab telah turut meramaikan dunia literasi. Pertanyaannya kemudian, apakah mereka akan mampu bertahan? Jawabannya tentu tergantung mereka sendiri. Jika mereka menulis hanya demi memperturutkan kehendak musim, tentunya mereka akan tergilas oleh waktu. Artinya ketika musim itu pergi, mereka pun akan “pergi.”
Tapi jika mereka tetap mempertahankan “tulis-menulis” sebagai sebuah rutinitas dan tradisi intelektual, maka mereka akan tetap bertahan sehingga label “penulis musiman” pun akan lekang dan gugur dengan sendirinya.
Demikian dulu Tuan dan Puan Steemians, lain waktu disambung kembali…
Semoga kita disteemit,tidak jadi penulis musiman tetapi penulis yang sejati,cocok tgk..?
Tenkiyu Abu, tetap menulis
Semoga 😁
Meunyo Tgk Arief Maulana kajelas Penulis Abadi, hehe
Haha pane na bang, tanyoe penulis status fb hijrah bak si mit. Nyan yang ka jelas. kwkw
Menjadi penulis musiman lebih baik dari pada tidak pernah menulis, awalnya musiman mungkin saja kemudian menjadi penulis berketerusan
Sudah dijelaskan di paragraf terakhir😁
Durian saja punya musim juga bg. 😁😁😁
Bermusim jg😂