ASMAR AYIP BUNGGA

in #biografi7 years ago

Screenshot_20180326_115837.pngA.A. Bungga adalah nama yang biasa ditulisnya pada karya-karyanya. Nama ini merupakan singkatan dari Asmar Ayip Bungga. Dia lahir di Medan, 17 Juni 1938 dan meninggal dunia tahun 1990. Dia menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat di Tebingtinggi Deli (1953).
Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Negeri di Medan (1955) dan Al Jamiatul Washliyah di Tebingtinggi (1955). Akan tetapi, dia tidak menamatkan pendidikannya tersebut.

Bungga mengaku mulai tertarik pada sastra karena selalu membaca karya-karya Hamka. Ketertarikan inilah yang mengantarkannya menjadi seorang penulis. Dia mulai serius menulis sejak tahun 1960-an berupa puisi, cerpen, dan artikel budaya di surat kabar dan majalah terbitan Medan dan Jakarta, seperti Panji Masyarakat, Kiblat, Pelita, Merdeka, Abad Muslim, dan Horison.

Bungga pernah menjadi wartawan dan staf redaksi ruang budaya surat kabar terbitan Medan, seperti Sinar Indonesia Baru(1976), Bukit Barisan(1979), Mercu Suar (1980-1982), dan sebelum meninggal dunia bertugas sebagai redaktur budaya dan opini harian Mimbar Umum Medan.

Sewaktu menjadi wartawan harian Sinar Indonesia Baru (SIB), dia termasuk yang meminta puisi "Pastur Jongkok di Betis Perawan”karya A. Rahim Qahhar untuk diterbitkan harian SIB sehingga surat kabar ini mengalami pembredelan (1975). Puisi ini bersama puisi "Bulan Anggur”karya Bambang Eka Wijaya sebagai redaktur budayanya dan "Tuhan di Balik BH Pelacur”karya Gunawan Tampubolon dianggap sebagai penghinaan agama dan pelecehan terhadap umat Islam.

Puisi-puisi karya sastrawan dan wartawan yang pernah menjadi pengurus Seksi Sastra Dewan Kesenian Medan (1972) ini menjadi salah satu pilihan Aldian Aripin, Djohan A. Nasution, dan Zakaria M. Passe sebagai editor Terminal: Antolodji Sastra Kontemporer yang diterbitkan Sastra Leo Medan (1971).

Dia juga menyumbangkan puisi-puisinya pada kumpulan puisi "Kuala" yang diterbitkan Dewan Kesenian Medan (1975). Setelah muncul dalam dua antologi tersebut, Lazuardi Anwar menerima puisi-puisinya sehingga menjadi kumpulan puisi Mawar yang diterbitkan oleh Yayasan Wiraswasta Seni (Yaswira) Medan (1983).

Secara lokal, Bungga mengikuti kegiatan “Omong-omong Sastra” sebagai wadah diskusi para sastrawan Medan dan sekitarnya. Para sastrawan yang tergabung dalam kegiatan ini mengadakan Temu Sastrawan Sumatera Utara di di Bina Budaya (sekarang berganti nama menjadi Taman Budaya Sumatera Utara) Medan, 4-6 November 1977. Panitia pelaksana pertemuan menerbitkan sebuah antologi Puisi Temu Sastrawan Sumatera Utara 1977.

Secara regional, Bungga mengikuti “Dialog Utara” sebagai wadah silaturahmi dan unjuk kemampuan bersastra para sastrawan Sumatera Utara dan Malaysia Utara yang kemudian mengikutsertakan sastrawan dari Provinsi Aceh dan Thailand Selatan. Puisi-puisinya diikutsertakan dalam Rantau: Antologi Puisi Indonesia-Malaysia-Singapura yang diterbitkan Yaswira Medan (1984).

Kemudian, dia mengikuti Dialog Utara II di Medan yang menyertakan puisi-puisinya dalam antologi sastra Indonesia-Malaysia berjudul Muara Dua terbitan Firma Maju Medan (1989). Semasa hidupnya, dia banyak memberikan sugesti kepada para penulis muda untuk menghasilkan karya-karya yang berkualitas, terutama esai dan kritik untuk keperluan penerbitan surat kabar di Medan.

Sort:  

Mantap dokumentasinya bang

Bagian dari leksikon susastra yg sdg abng susun. Sembari cuba2 mengaktifkan steemit, unggah ke marilah. Trims responnya ya @puanswarnabhumi.

Mantap, Medan memang "kota Pers" sejak dahulu kala😁

Juga "gudang sastrawan", Bang @tinmiswary. Trm ksh telah singgah. 👍👍