Takhrij al jrah wata'dil
A. Pendahuluan
At-takhrij menurut pengertian asal bahasanya ialah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu”. Kata at-takhrij sering dimutlakkan pada beberapa pengertian yaitu al-istimbat (hal mengeluarkan), at-tadrib (hal melatih), at-taujih (hal memperhadapkan).
Secara terminologi takhrij berarti mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad, baik disertai pembicaraan tentang status hadis-hadis tersebut dari segi shahih atau dhoif, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekedar mengembalikan kepada kitab-kitab asal (sumber)-nya.
Adapun pengertian at-takhrij yang digunakan untuk maksud kegiatan penelitian hadis ialah menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang didalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis bersangkutan. Berangkat dari pengertian itu maka yang dimaksud takhrijul hadis dalam hal ini ialah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.
Takhrij artinya mengeluarkan, jadi takhrijul hadis artinya mengeluarkan hadis. Dimaksudkan dalam kajian ini, hadis yang dibahas itu ada di kitab apa dan siapa saja imam ahli hadis yang mengeluarkan atau mencatatnya. Semua ini perlu diketahui jalur sanad dan matannya, agar dapat diketahui perbedaan dan persamaan disamping kekuatan periwayatannya. Sekaligus untuk didudukan apabila nampak ada yang bertentangan pada dhahirnya satu dari yang lain. Ringkasnya berbagai periwayatan yang terkait, termasuk panjang dan pendeknya perlu diketahui, agar dapat ditentukan kuat dan tidaknya periwayatan, makin banyak periwayatan dapat dinilai makin kuat,selagi sejalan dan tidak bertentangan.
B. Pembahasan
Dalam memahami sebuah hadits tidak cukup dengan melihat matan haditsnya saja, tetapi harus menelaah dari mana sumber hadits (takhrij al-hadits), menelaah sanadnya, perawinyanya. Begitu pula seorang perawi (al-Jarh wa at-Ta’dil) juga perlu telaah terhadap hadits yang akan dibahas. Setelah memahami aspek-aspek yang berkaitan dengan sebuah hadits barulah kita bisa menentukan kedudukan hadits tersebut, maka dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan sebuah hadits ditinjau dari Takhrij al-Hadits, al-Jarh wa at-Ta’dil. Adapun hadis yang akan penulis uraikan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut :
عن أبى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال : سبعة يظلهم الله فى ظله يوم لا ظل إلا ظله : إمام عدل وشاب نشأ فى عبادة الله تعالى ورجل قلبه معلق بالمساجد ورجلان تحابا فى الله إجتمعا عليه وتفرقا عليه ورجل دعته إمرأة ذات منصب وجمال فقال إنى أخاف الله ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه ورجل ذكر الله خاليا ففاضت عيناه.
Takhrijul hadits untuk menelusuri sumber hadits di atas maka dalam makalah ini penulis akan menggunakan tiga metode, yaitu :
- Menelusuri hadits dari rawi al-a’la (sumber terdekat/sahabat yang meriwayatkan langsung dari Rasulullah saw.) Rawi al-a’la dari hadits di atas adalah Abu Hurairah, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam shahih Bukhari berjumlah: 942 hadits. Setelah menelusuri ke 942 hadits dalam shahih Bukhari tersebut ditemukan hadits yang dimaksud di atas pada hadits no : 1423. Ada juga hadits yang sama, dengan pengurangan kata ”ta’ala” dalam redaksinya pada hadits no : 660 dan 6479, dan hadits yang sama dengan pengurangan kata ”ta’ala fi zillihi” dalam redaksinya pada hadits no : 6806. Menentukan sarana yang digunakan, menentukan rawi al-a’la, identifikasi hadits yang diriwayatkan, menentukan hadits yang dimaksud, hadits-hadits yang memiliki kemiripan dengan hadits dimaksud Kasyf ar-Ruwat untuk Shahih Bukhari Abu Hurairah (942) buah hadits dalam Shahih Bukhari Hadits no : 1423 (hadits yang dimaksudkan di atas) No : 660 & 6479 (hanya dikurangi kata ”ta’ala” dan perubahan adlun = al-a’dil) No : 6806 (dikurangi kata ”ta’ala fi zillihi”) Beberapa kelemahan yang bisa kita temukan dalam metode takhrij ini adalah tidak semua kitab memberikan daftar nomor-nomor hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi al-a’la. - Jika seorang rawi al-a’ala meriwayatkan hadits sangat banyak seperti yang terjadi pada hadits Abu Hurairah ini maka akan membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk menelusurinya.
- Menelusuri dari kata awal pada hadits Awal kata dari hadits ini adalah kata : sab’atun. Kata sab’atun ini yang kita gunakan untuk mencari keberadaan hadits di atas. Dalam Kassaf Atroofi al-Hadits untuk mencari hadits-hadits Shahih Bukhari ada empat hadits yang dimulai dengan kata : sab’atun, yaitu hadits no : 660, 1423, 6479 dan 6806. Hadits yang sama dengan hadits di atas (tanpa pengurang, penambahan dan perubahan redaksi) adalah hadits no: 1423, sementara ketiga hadits yang lain terdapat pengurangan walaupun tidak sampai mengubah isi. Hadits-hadits yang memiliki kemiripan dengan hadits dimaksud Kassaf Atroofi al-Hadits untuk Shahih Bukhari "سبعة" (sab’atun) 4 buah hadits dalam Shahih Bukhari yang di mulai dengan kata "سبعة" Hadits no : 1423 (hadits yang dimaksudkan di atas) No : 660 & 6479 (hanya dikurangi kata ”ta’ala” dan perbedaan kata ”adlun bukan ”a’dilun”) No : 6806 (dikurangi kata ”ta’ala fi zillihi”)
- Menelusuri dari seluruh kata dalam hadits tersebut, sangat banyak kata yang bisa kita ambil sebagai pedoman untuk menentukan keberadaan hadits. Misalnya saja kata ”syabun”, dengan menggunakan kata tersebut lalu ditentukan sarana untuk mendeteksinya. Dengan menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaazi al-Hadits an-Nabawi ’an al-Kutub as-Sittah wa ’an al-Musnad ad-Darami wa Muwatho’ wa Malik wa Musnad Ahmad bin Hambal, dicari pada bab ”Syin” dan akan ditemukan kata ”Syab” pada ”Kho”, azan 26 dan zakat 16 dan hudud 19.
Setelah proses tahkrij selesai maka kita bisa menemukan hadits tersebut lengkap dengan sanadnya sebagai berikut :
حدثنا مسدد حدتنا يحيى عن عبيد الله قال حدثنى خبيب بن عبد الرحمن عن حفص ابن عاصم عن أبى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال : سبعة يظلهم الله فى ظله يوم لا ظل إلا ظله : إمام عادل وشاب نشأ فى عبادة الله تعالى ورجل قلبه معلق بالمساجد ورجلان تحابا فى الله إجتمعا عليه وتفرقا عليه ورجل دعته إمرأة ذات منصب وجمال فقال إنى أخاف الله ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه ورجل ذكر الله خاليا ففاضت عيناه. رواه البخارى.
Untuk lebih memudahkan memahami sanad hadits ini maka bisa dibuat dalam ketsa :
رسول الله صلى الله عليه وسلم الحديث : سبعة يظلهم الله تعالى فى ظله ... أبو هريرة حفص ابن عاصم عبيد الله خبيب بن عبد الرحمن يحى القطان مسدد البخارى
Al-Jarh wa at-Ta’dil adalah:
a. Imam Bukhari Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughiroh bin Bardizbah al-Bukhory. Lahir setelah shalat Jum’at, 13 Syawal 194 H. Imam Bukhari berkata : “saya menulis hadits lebih dari 1000 guru, dan setiap haditsnya saya sertakan sanadnya” dan “saya hafal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits tidak shahih. Az-Zahabi berkata : “ … beliau adalah pemimpin orang-orang jenius, pemimpin ahli ilmu, pemimpin orang-orang wara’ dan ibadah”. Muhammad bin Basyyar (guru Imam Bukhari dan Imam Muslim) berkata : orang-orang yang menjaga hadits didunia ini ada empat yaitu Abu Zur’ah birro’i, Muslim bin Hajjaj di Naysabury, Abdullah bin Abdurrahman ad-Daramy dan Muhammad bin Ismail di Bukhoro. Abu Isa at-Turmuzi (pemilik sunan at-Turmuzi) berkata : “saya belum menemukan baik di Iraq maupun di Khorosan orang yang mengerti tentang cela (‘Ilal), sejarah (Tarikh), pemahaman tentang sanad seperti Muhammad bin Isamail. Muhammad bin Ishaq bin Huzaimah berkata : “saya tidak menemukan didunia ini orang yang lebih memahami hadits Rasulullah saw dari pada Muhammad bin ismail al-Bukhory. Diriwayatkan dari Ahmad bin Hmdun, ia berkata : “Muslim bin Hajjaj datang menemui Imam Bukhari lalu Imam Bukhari mencium antara kedua mata Muslim, lalu Muslim berkata ; “izinkan saya untuk mencium kedua kakimu wahai guru seluruh guru, pemimpin para muhaddits, dokter hadits yang memiliki cela, dan selanjutnya imam Muslim berkata : hanya orang-orang hasudlah yang membencimu dan saya bersaksi tidak ada di dunia ini sepertimu (penguasaan terhadap hadits).
b. Musaddad Musaddat bin Masrahid bin Masrabil bin Magrabil bin Mahik, Abu al-Hasan al-Azdi al-Bashry. Menurut Imam Bukhari, beliau wafat pada tahun 228 H. Imam Bukhari berkata ; ”As-Syaiby mengirim surat kepadaku bahwa Muhammad bin Ja’far bercerita kepadanya : bahwa ia mendengar Muhammad bin Ibrahim al-Busyanji berkata : ”Musaddad wafat beberapa hari setelah masuknya tahun 228 H”. Musaddad mendengar hadits dari Abu Aunah, Abdul Wahid bin Abdul Warits, Ibnu Ulaiyyah, Kholid bin Abdillah, Yazid bin Zurai’, Hammad bin Zaid, Mu’tamiran, Basyar bin Mufaddhal, Yahya al-Qotthon dan Abdullah bin Daud. Bukhari meriwayatkan hadits dari Musaddad pada kitab Iman, Kitab Zakat, Kitab Hudud. Ibnu Muin, gurunya Imam Bukhari menganggap Musaddat sebagai seorang terpercaya (Shodduq), dan menurut an-Nasa’i dan al-A’jaly : Musaddat adalah orang yang kuat (Tsiqoh).
c. Yahya Yang dimaksud Yahya pada hadits diatas adalah Yahya al-Qothon . Walaupun biodata Yahya tidak masyhur seperti sanad yang lain, namun tidak menoreh cacat pada keshahihan hadits karena hadits ini di riwayatkan melalui tiga jalur, dan dua jalur yang lain sangat kuat dan jelas.
d. Khubaib bin Abdurrahman Khubaib bin Abdur Rahman bin Khubaib bin Yasaf bin ‘Utbah bin ‘amru Abu al-Harits an-Anshori al-Haritsy al-Khozroji al-Madiny paman Ubaidillah bin Umar. Menurut al-Waqidy, beliau wafat dimasa Marwan bin Muhammad. Khubaib meriwayatkan hadits dari Hafs bin ‘Ashim bin Umar bin Khottob, Abdurrahman bin Mas’ud bin Nayyar, Abdullah bin Muhammad bin Ma’an al-Madany, demikian juga dari bibinya Anisah dan dari bapaknya, adapun yang meriwayatkan hadits darinya adalah anak saudarinya Ubaidillah bin Umar, Malik, Ibnu Ishak, Yahya bin Said al-Anshori, Mansur bin Zadzan, Imarah bin Ghoziah dan Syu’bah tentang hadits Solat. Ibnu Main dan an-Nasa’I bahwa Khubaib adalah orang yang kuat (tsiqoh). Abu Hatim berkata : bahwa haditsnya baik serta ibnu Sa’ad berkata ; tsiqoh namun sedikit meriwyatkan hadits. Ibnu Hajar al-Asqolany berpendapat bahwa Khubaib termasuk orang-orang yang tsiqoh.
e. Ubaidillah bin Umar bin Hafs bin A’shim bin Umar bin Khottob abu Usman al-Qurasy al-Adawy, saudara Abdullah, A’shim dan Abu Bakar. Wafat pada tahun 145 H. Ubaidillah meriwayatkan hadits dari al-Qosim bin Muhammad, Nafi’, umar bin Nafi’, az-Zuhri, Muhammad bin al-Munkadir, Said bin al-Maqbara, Habib bin Abdurrahman, Muhammad bin Yahya bin Hayyan. Adapun yang meriwayatkan hadits darinya adalah Ibnu Juraiz, Yahya al-Qotthon, Anas bin I’Yadh, abu kholid al-ahmar, Ubdah bin Sulaiman, Abu Usamah, Basyar bin Mufaddhol, Abdullah bin Numair dalam bab al-Wudhu, dll. Beliau termasuk satu diantara ahli fiqh, Abu Zar’ah dan Abu Hatim berpendapat bahwa Beliau tsiqoh. An-Nasa’I dan ahmad bin Sholeh berkata : beliau adalah tsiqoh yang kokoh. Ibnu Main berkata : beliau tsiqoh dan hafal kita shahih Bukhari dan shahih Muslim. f. Hafs ibn A’shim Hafs bin A’shim bin Umar bin Khottob al-adawy al-Qurasy al-Kufy. Dia adalah kakeknya Ubaidillah bin Umar. Hafs bin A’shim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Ibnu Umar, Abdullah bin Buhainah, Abu Said bin Mu’alla, A’shim, Abu Said al-Khudry. Adapun yang menerima hadits darinya adalah putranya Isa bin Hafs, Khubaib bin Abdurrahman, Sa’ad bin Ibrahim, Umar bin Muhammad bin zaid, az-Zuhri, Salim bin Abdullah bin Umar, Qosim bin Muhammad. Menurut al-Ajali, Abu Zur’ah, dan an-Nasa’I bahwa beliau adalah orang yang tsiqoh, Thobari berkata: “Tsiqoh yang jadi rujukan, demikian juga Ibnu Hibban menggolongkannya diantara orang-orang tsiqoh, sementara Imam Muslim mengkategorikan beliau pada derajat pertama yang diambil haditsnya dari golongan Madinah. Walaupun demikian Ibnu Hajar dalam kitab at-Taqrib menggolongkan beliau tsiqoh pada derajat ketiga.
Abu Hurairah mendapat beberapa julukan tentang nama Abu Hurairah, dan nama yang paling benar ketika masa jahiliah adalah Abd as-Syams dan ketika masuk Islam nama beliau berubah menjadi Abdurrahman bin Sokhr bin Amir bin abdi Zi asy-Syara , ad-Dausy, al-yamanay, dari daerah Dus di Yaman. Beliau wafat pada tahun 57 H. Latar belakang julukan Abdurrahman dengan Abu Hurairah Suatu saat ketika Abdurrahman mengembalakan kambing untuk keluarganya, beliau menemukan anak-anak kucing liar lalu ia ambil dan ia ajak bermain-main diwaktu siang dan beliau letakkan dipohon ketika malam, karena hal itulah beliau mendapatkan julukan Abu Hurairah, sementara Rasulullah sendiri pernah menjulukinya dengan Abu Hur (menggunakan kata muzakar). Julukan dari Rasulullah ini lebih disenangi oleh Abdurrahman dari pada julukan Abu Hurairah (menggunakan kata muannats). Karena ibadah dan penguasaannya terhadap ilmu Abu Hurairah adalah seorang zuhud, wara’, tidak mengharapkan duniawi, senantiasa shalat malam dan beristigfar 12.000 kali setiap hari, senatiasa berpuasa 3 hari ”yaum al-abyad, senantiasa menjaga sunat fajr, witir, duha, tidak pernah menyakiti orang lain walaupun pembantunya. Pada kesempatan lain Ibnu Umar juga berkata ; ”engkau adalah sahabat yang paling sering menemani Rasulullah saw dan paling memahami tentang haditsnya. Pada suatu ketika Umar bin Khattab berkata kepada Abu Hurairah : ”engkau adalah orang yang paling sering menemani Rasulullah saw dan paling menguasai haditsnya. Sehingga Abu Said al-Khudry meriwayatkan hadits : Rasulullah saw bersabdda : Abu Hurairah adalah wadahnya ilmu. cukuplah persaksian para sahabat menunjukkan derajat abu Hurairah diantara para sahabat. Imam Bukhari berkata : ada sekitar 800 orang ahli ilmu yang meriwayatkan hadits darinya, Beliau adalah orang yang paling hafal hadits pada masanya. Hingga Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah sebanyak 942 hadits. Diantara sahabat yang meriyatkan hadits darinya adalah Zaid bin Tsabit,Abu Ayyub al-Anshory, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amru, Abdullah bin Zubair, Ubay bin Ka’ab, Jabir bin Abdullah, Aisah, Musawwar bin Muhzimah, Uqbah bin Harits, Abu Musa al-As’ary, Anas bin Malik, Sa’ib bin Thufail, Abu Nadhroh al-Ghoffary, Abu Rohm al Ghoffary, Syaddad bin al-Had, Abu Hadrad Abdullah bin Hadrad al-Aslamy, Abu Rozin al-Uqoily, Watsilah bin Asqo’, Qubaishoh bin Zua’ib, Amru bin al-Amq, Hajjaj al-Aslamy, Abdullah bin Hakim, al-Agro al-Jahny, as-Syarid bin Suaid dll, jumlah sahabat yang meriwayatkan dadits dari Abu Hurairah sekitar 820 sahabat. Meskipun Abu Hurairah dengan sederet kemuliaannya telah mejadi rujukan bagi para sahabat, beliaupun tetap meriwayatkan hadits dari para sahabat lainnya seperti dari Abu Bakar, Umar, al-Fadl bin abbas, Ubay bin Ka’ab, Usamah bin Zaid, aisah, Bashrah al-Ghoffary, Ka’ab al-Akhbar dll. Hal ini semua menunjukkan kerendahan hati Abu Hurairah ra.
Kosa kata ظل cahaya matahari yang tertutup penghalang sehingga tidak mengenai dirimu. Bayangan, naungan kemuliaan, keluhuran, kenikmatan, kemewahan hidup. إمام Satu kalimat dengan kata ”amam” berarti orang yang dipanuti, depan. Komandan, pemuka, pemimpin, petunjuk, referensi. Jadi imam adalah orang yang layak untuk diletakkaan di depan untuk dijadikan panutan, referensi dan pemimpin. شاب Orang yang sudah baligh tapi belum sampai usia dewasa, pemuda, anak muda. Orang yang sudah baligh hingga batasan umur sekitar tiga puluh tahun نشأ berkembang, tumbuh, muncul, timbul, berkembang menjadi besar, tumbuh berkembang. رجل Laki-laki baligh, pemuka kaum. Lawan kata ”mar’atun” jadi kata ”rijal” bisa diartikan pemuka kaum baik laki-laki ataupun perempuan. Karenanya juga digunakan kata ”rijal al-Hadits” yang berarti tokoh-tokoh hadits. مساجد Tempat shalat dari mufradnya ”masjidun”. Setiap tempat yang digunakan untuk beribadah menyembah Allah, tempat yang digunakan untuk sujud. معلق Tergantung, mencintai. Terikat, tidak bisa dipisahkan, mencintai. Menggantungkan hati terhadap masjid yang dilatar belakangi oleh cinta terhadap masjid (syariat Islam) منصب Kedudukan yang tinggi, memiliki wewenang terhadap sebuah masalah. Posisi, jabatan, pangkat, besi penopang. Kedudukan yang tinggi yang menyebabkannya sulit digoyahkan bagaikan sesuatu benda yang ditopang oleh besi yang kuat. صدقة Memberikan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah swt bukan untuk mendapatkan ketenaran, jujur, tidak dusta. Jika kita rangkai arti kosa kata diatas bisa kita temukan makna upaya megasingkan diri dari orang lain untuk membebaskan diri dari keterikatan terhadap makhluk menuju harapan hanya kepada Allah swt semata, namun bila salah menyikapinya akan menibulkan riya yang dasarnya pendustaan terhadap agama Allah swt. فاضت Air yang banyak hingga mengalir, menangis tersebu-sedu hingga mengalir air mata. Meluap, melimpah, mengalir, banyak, deras, bercucuran air mata. Makna global dalam hadits ini menjelaskan bahwa taat terbagi menjadi dua bagian yaitu : - Hubungan hamba dengan Tuhan Hubungan hamba dengan Tuhan bisa dengan menggunakan lisan yaitu zikir, atau menggunakan hati yaitu dengan kerterikatan dengan masjid, atau dengan badan yaitu tumbuh dalam ibadah kepada Allah swt.
- Hubungan hamba dengan sesama Hubungan hamba dengan sesama bisa bisa berbentuk umum dengan cara berbuat adil, atau khusus dalam hati yaitu saling mencintai, atau dengan menggunakan harta dengan bersedekah, atau dengan badan yaitu bersifat Iffah (menjaga diri dari perbuatan yang tidak pantas).
Kata ”rijal” pada hadits ini tidak berarti lali-laki akan tetapi merupakan kata simbol yang mencakup laki-laki dan perempuan, kecuali pada bagian ” rijal yang senantiasa terikat dengan masjid”, karena bagi wanita lebih mulia shalat dirumahnya daripada shalat di masjid. Telaah hadits (سبعة يظلهم الله فى ظله يوم لا ظل إلا ظله) Kata “sab’atun” pada hadits diatas menunjukkan keistimewaan tujuh golongan tersebut sehingga dijanjikan menerima pahala yang demikian mulia tersebut, akan tetapi penggunaan kata “sab’atun” bukanlah sebuah pembatasan golongan yang mendapatkan anugerah tersebut, karena dalam hadits Muslim dijelaskan bahwa ada dua golongan lain yang akan mendapatkan balasan yang sama (berada pada Zil Allah) pada hari kiamat, kedua golongan tersebut adalah menangguhkan pembayaran bagi orang-orang yang kesulitan (man anzara muassiran) dan mengurangi sebagian hutangnya (wadha’a ba’dha ad-daini anhu). Dengan adanya hadits ini maka bisa dipahami bahwa kata ‘sab’atun” pada hadits ini bukanlah sebuah batasan tapi sekedar pengelompokan sehingga mempermudah untuk memahami hadits. “Fi Zillihi” Penyandaran kata “Zil” pada dhamir muttashil (Allah) adalah sebuah penghargaan dan kemuliaan, karena semua Zil adalah ciptaan Allah swt, sebagai perbandingan bahwa Ka’bah disebut Baitullah sementara semua masjid dimuka bumi ini adalah Baitullah. Ada beberapa pendapat tentang makna kata “Zil”, yaitu Isa bin Dinar berkata bahwa ”zil” adalah metonomi yang berarti pengawalan, penjagaan dan proteksi dari Allah swt. Kiasan yang berarti Istirahat dan kenikmatan dari kelelahan dan kesengsaraan. Menurut al-Qortubi dan al-Qodi ’iyyad bahwa kta ”zil” adalah Majaz al-Hazf yang berarti Arsy ar-Rahman, jadi ungkapan hadits ini sesuai hakikat yang berarti dalam naungan Allah swt dari panasnya matahari yang sangat dekat dari mereka. Menurut penulis, Pendapat yang terakhir ini mengakomodir dua pendapat yang lain karena orang yang mendapatkan naungan Allah swt dari panasnya matahari juga berarti mereka mendapatkan pengawalan, penjagaan dan pemeliharaan serta mendapatkan kenikmatan. “Yauma la zilla ylla zilluh” maksud dari ungkapan dalam hadits diatas adalah hari kiamat, pada hari kiamat tersebut semua kembali kepada Allah swt untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang telah diperbuat selama hidup didunia. (إمام عدل) “Adlun” merupakan isim masdar, dan fiilnya adalah “adala-ya’dilu”, pada hadits lain baik riwayat Bukhari maupun Muslim menggunakan isim fa’il (al-a’dil). Penggunaan kata isim masdar lebih konsentrasi dan mendalam karena menjadikan subjek sebagai keadilan itu sendiri. Adapun yang dimaksudkan “imam” pada hadits ini adalah pemegang peranan tertinggi dalam negara, atau bisa dipahami juga bahwa setiap yang memegang peranan dalam menentukan kebijakan pada sebuah masalah lalu ia berlaku adil. Hal ini dipertegas oleh hadits Muslim:
عن عبد الله ابن عمرو مرفوعا "إن المقسطين عند الله على منابر من نور عن يمين الرحمن. الذين يعدلون فى حكمهم واهليهم وما ولوا"
Dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash (hadits marfu’) orang-orang yang adil berada diatas mimbar-mimbar yang dilapisi cahaya disebelah kanan Allah swt, yaitu mereka yang berlaku adil dalam menegakkan hukum dan di keluarga mereka serta terhadap kekuasaan mereka. Menurut Ibnu Hajr al-Asqolani pengertian yang paling tepat tentang “al-imam al-adil” adalah mengikuti perintah Allah dengan cara meletakan sesuatu sesuai pada tempatnya sesuai proporsinya. Al-Imam al-Adil diletakkan pada urutan pertama dari tujuh golongan ini karena inflikasinya yang sangat luas dalam kehidupan. Prilaku adil adalah nasehat Ilahiyah yang telah Allah sampaikan kepada para nabi terdahulu, seperti perintah Allah swt terhadap nabi Daud as. Allah swt berfirman sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah dimuka bumi, maka berilah keputusan yang adil diantara manusia dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah swt. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah swt akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. Demikian juga Allah swt memerintahkan kepada nabi Muhammad saw untuk berlaku adil. Allah swt berfirman : “dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah swt kepadamu. Dan jika mereka berpaling maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah swt menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik”. (وشاب نشأ فى عبادة الله تعالى) Ada beberapa riwayat lain yang menjelaskan hadits ini dengan redaksi yang berbeda diantaranya: “dan pemuda yang tumbuh berkembang dan senantiasa beribadah kepada tuhannya (bukan- kepada Allah)”. Hadits dari Salman al-Farisi : “dan pemuda yang menghabiskan waktu muda dan kegiatannya untuk beribadah kepada Allah swt”.Riwayat lain menjelaskan : “hingga ia mati dalam keadaan seperti itu (beribadah kepada Allah swt)”. Kemuliaan yang demikian tingginya diberikan kepada pemuda karena secara naluri para pemuda lebih senang mengikuti nafsunya daripada beribadah. Pemuda yang lebih memilih ibadah daripada mengikuti nafsunya menunjukan kekuatan iman yang dahsyat ada dalam hati pemuda tersebut. (ورجل قلبه معلق بالمساجد) Ada beberapa riwayat menggunakan “fi al-masajid” seperti juga dalam shahih Bukhari dan Muslim, tapi pada hadits ini menggunakan “ba” adapun makna tetap sama. “Muallaq” pada hadits ini berasal dari kata ”at-ta’liq” memiliki pengertian : - Sesuatu yang tergantung dimasjid sebagai isyarat bahwa hati orang tersebut senantiasa berada dalam mesjid walaupun raganya berada diluar masjid. Hubungan yang demikian dekatnya yang direfleksikan cinta yang sangat dalam terhadap masjid, hal ini diperkuat oleh hadits dari riwayat Salman “tergantung dengan masjid karena cintanya terhadap masjid”. Dari pengertian diatas bisa difahami bahwa kata “muallaq” menunjukkan kecintaan yang sangat dalam terhadap masjid dan berlomba meraih kebaikan dan berkah dari masjid. Hadits ini juga menunjukkan demikian tingginya keutamaan masjid yang menjadi rumah Allah swt dimuka bumi, karena masjid merupakan wahana pertemuan orang-orang shalih, dan tempat untuk berbuat kebaikan baik zikir, belajar, saling menasehati untuk senantiasa berada dalam kebenaran dan bersabar menghadapi problema hidup. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an : “Bertasbih kepada Allah swt dimasjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula jual beli dari mengingat Allah swt dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang dihari itu hati dan penglihatan menjadi goncang. Supaya Allah memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah swt menambah karunianya kepada mereka dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. Realita yang pasti hubungan dengan masjid akan melahirkan kehidupan yang harmonis dan memberikan pahala yang demikian tingginya baik pendirian masjid, memakmurkannya, duduk didalam masjid, menanti solat didalamnya, belajar atau mendengarkan pelajaran didalamnya. Keterikatan dengan masjid akan mendatangkan taufiq, kebaikan dan keberhasilan didunia, dan menghasilkan ampunan, keselamat dan kemenangan di akhirat. (ورجلان تحابا فى الله إجتمعا عليه وتفرقا عليه) Dua orang yang saling mencintai karena Allah swt bukan mengharapkan tujuan duniawi belaka. Penggunaan kata ”fi”pada kata ”fillah” adalah sebuah stressing faktor timbulnya cinta tersebut. “ijtama’a alaihi wa tafarroqo alaihi” Pertemuan dan perpisahan antara keduanya dilandasi cinta kepada Allah swt, jadi keduanya memiliki cinta yang sejati, tidak putus karena hal duniawi hingga mereka dipisahkan oleh maut. Cinta karena Allah swt akan melahirkan keberkahan baik di dunia maupun di akhirat sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwattho, bahwa Rasulullah saw bersabda : ”Allah swt berfirman dalam hadits qudsinya : “cinta-Ku akan Aku berikan kepada orang yang saling mencintai karena-Ku, duduk bersama (dalam menuntut ilmu) karena-Ku, saling mengunjungi karena-Ku dan saling memberi karena-Ku. Buah dari cinta karena Allah swt adalah kejujuran iman kepada Allah swt, rasa takut kepada-Nya dan senantiasa siap menerima panggilan-Nya, sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas ra. Dari nabi Muhammad saw, Beliau berkata : ”tiga hal jika sudah berkumpul pada seseorang maka ia telah menemukan manisnya keimanan, pertama : Allah dan Rasulnya lebih ia cintai dari pada yang lain, kedua ; mencintai seseorang karena Allah swt, ketiga ; benci untuk kembali dalam kekafiran setelah Allah swt menyelamatkannya seperti bencinya untuk masuk kedalam neraka”. (ورجل دعته إمرأة ذات منصب وجمال فقال إنى أخاف الله) Kesabaran seorang lelaki dalam menahan diri dari godaan wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan untuk melakukan perzinahan. Walaupun ada yang memahaminya bahwa lelaki yang menahan diri tidak menikahi wanita yang berkedudukan dan cantik karena takut menyebabkannya lalai dalam ibadah, atau lelaki tersebut takut tidak mampu memenuhi kewajibannya akibat kesibukannya beribadah, namun pendapat ini lemah karena dalam hadits riwayat Baihaqi dalam kitab “Sya’bul Iman” dari Abu Hurairah ”lalu sang wanita menyodorkan dirinya untuk kepada lelaki tersebut. “Sabar menghadapi menghadapi godaan wanita yang memiliki kedudukan dan cantik adalah suatu hal yang sangat berat, karena sangat sulit mendapatkan kesempatan tersebut disamping lagi kecantikan yang senantiasa mempengaruhi naluri seorang laki-laki, dan kedudukan yang bisa menyebabkan amannya perbuatan tersebut. Allah swt berfirman : “dan adapun orang-orang yang takut kepad akebesaran Tuhan-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah temapt tinggalnya. “faqola inni akhof Allah” Zhohir hadits menunjukkan bahwa lelaki tersebut berkata dengan lidahnya untuk mengingatkan wanita tersebut terhadap Allah swt dan menyadarkan wanita tesebut akan perbuatannya. Hadits ini juga memiliki kemungkinan bahwa lelaki dimaksud mengucapkannya perkataanya dalam hati sebagai upaya mawas diri dan kesadaran diri senantiasa diawasi oleh Allah swt. Pendapat pertama dengan mengucapkannya dengan keras lebih tepat karena menggabungkan dua hal yang sangat mulia yaitu : - kesucian diri dan kesabaran menghadapi godaan
- nasehat yang disampaikannya lebih lengkap karena bukan saja dirinya yang mendengar tapi orang lainpun turut mendengar nasehat tersebut.
Ungkapan : “inni akhof Allah” menunjukkan sikap yang patuh dan taat hanya kepada Allah dan mawas diri bahwa Allah swt senantiasa menyertai dimanapun kita berada. (ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه) “Shodaqoh” adalah satu rumpun dengan kata “siddik” yang kedua kata tersebut memiliki pertautan kuat, bahwa perbuatan “shodaqoh” akan melahirkan sikap jujur (shiddik) untuk beriman kepada Allah swt, dan atau sebaliknya sikap jujur (shiddik) beriman kepada Allah swt akan mendorong seseorang untuk mengeluarkan “shodaqoh”. Kata “shodaqoh” pada hadits ini umum baik dalam jumlah harta yang banyak maupun sedikit baik shodaqoh wajib maupun sunnah. Dan menyembunyikan shodaqoh adalah sesuatu hal yang baik berbeda dengan shodaqoh wajib, menampakkan shodaqoh wajib lebih baik daripada menyembunyikannya. “Hatta la ta’lam” bisa berbaris nashab (hatta la ta’lama) dan marfu’ (hatta la ta’lamu). Adapun nasab karena adanya hatta, maka maknanya menyembunyikan shodaqohnya dengan tujuan tidak ada yang mengetahuinya walaupun orang yang terdekatnya. Adapun bacaan “rofa”, terjadi karena hatta tidak dianggap sebagap huruf yang menashabkan tapi sebagai ungkapan yang berarti habisnya batas, dan makna yang dikandungnya adalah ia menyembunyikan shodaqohnya secara mutlak sehingga tangan kirinya sendiripun tidak mengetahui shodaqoh yang dikeluarkan oleh tangan kanannya. (ورجل ذكر الله خاليا ففاضت عيناه. ) Kata zikir dalam hadits ini memiliki dua arti yaitu ; - zikir dalam hati dengan cara mengingat Allah swt - zikir dengan lidah dengan cara mengucapkannya. Dalam realita zikir dengan lidah terkadang tidak sekhusyu’ dengan hati. Demikian juga kata “kholiyan” memiliki dua arti, yaitu : - Berada pada tempat yang sepi sehingga tidak dilihat oleh orang lain, hal ini menyebabkan seseorang jauh dari riya’. - Terfokus hanya pada Allah swt walaupun sedang berada ditempat ramai Dalam hal ini pendapat pertama lebih kuat namun tetap memberikan peluang benar pada pendapat kedua. “fafaadhat ainahu” Hingga mengalir air matanya sesuai dengan keadaan soerang yang berzikir, ketika ia sedang mengingat keagunggan Allah swt maka air matanya mengalir karena takut kepada siksa-Nya dan ketika ia mengingat kemuliaan Allah swt maka air matanya mengalir karena kerinduan bertemu dengan-Nya.
C. Penutup
Klarifikasi hadits untuk menelusuri kebenarannya adalah suatu hal yang mutlak difahami untuk menjaga keaslian hadits yang notabenenya adalah pedoman umat Islam kedua setelah al-Qur’an. Dengan memahami ulum al-hadits dari berbagai aspeknya, diharapkan kita dapat memahami, menghindari, mengkritisi dan meluruskan penafsiran yang salah terhadap sebuah hadits menuju penafsiran al-Hadits yang lebih dekat pada kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Husnan, Ahmad. Kajian Hadis Metode Takhrij. Jakarta: Pustaka al Kautsar. 1993
Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis. Jakarta: Bulan Bintang. 1992
Rahman, Fatchur. Musthalahul Hadis. Bandung: PT. Al Ma’arif. 1970
Sahrani, Sohari. Ulumul Hadis. Bogor: Golia. 2010
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003
Zuhri, Muh. Hadis Nabi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 2003
Smeer, Zeid. Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang : UIN-Malang Press, 2008.
Solahudin, Agus. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
M. Hasby Ash- Shiddieqy. Sejarah pengantar ilmu hadist.Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1989
Muhammad Hasbi Ash Siddiqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: PT. Pusataka Rizki Putra. 2005
Fatchur Rahman. Ihktisar mushthalahul hadits, Bandung, PT. Al-Ma’arif. 1974