BUDAYA APRESIASI DAN KARAKTER BANGSA
Harus diakui bahwa tidak terhitung jumlah orang Indonesia yang meraih sukses di luar negeri. Di sana mereka mendapatkan apresiasi. Karena itu, mereka bersemangat dalam mencapai prestasi.
Namun, mengapa terkesan bahwa di dalam negeri sulit menemukan orang-orang berprestasi menonjol? Jawabannya, antara lain ditemukan dalam budaya yang miskin mengapresiasi. Para peraih sukses kerap tidak membuat orang-orang lain ikut berbangga. Sebaliknya, malah mengundang tetangga merasa iri hatinya. Merasa diri direndahkan oleh keberhasilan sesamanya.
Mungkin bangsa ini kurang menghargai sesamanya. Coba lihat, apa saja yang tidak dibajak di Indonesia? Menjiplak alias plagiasi masih menghiasi perilaku para akademisi. Sedikit saja dari kita yang bangga akan karya dan inovasi pribadi.
Mengapa demikian? Bisa jadi karena bangsa ini miskin budaya apresiasi. Lepas dari jawaban itu benar atau salah, kita bisa bertanya: berapa guru di kelas-kelas Indonesia yang spontan memuji murid-muridnya yang berani bertanya atau mencoba memberikan jawaban? Berapa proses belajar yang memfasilitasi berpikir kritis, membuka perdebatan dan beradu argumen tanpa menyisakan sakit hati?
Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang bangga akan diri dan karyanya? Bangsa yang luhur mulia itu bangsa yang tahu menghargai karya dan prestasi sesama warga negaranya.
Penghargaan tidak harus selalu berupa uang, upah atau hadiah. Pujian dan tepuk tangan spontan atau ucapan proficiat. Itu semua amat bermanfaat. Apresiasi membuat wajah berseri dan hati berbunga-bunga, mengangkat harga diri serta mengukir rasa bahagia.
Anak-anak muda yang tumbuh besar dalam suasana yang budayanya menghargai kelak akan membentuk masyarakat yang memiliki harga diri, tidak mudah merasa iri hati dan akan mengukir banyak prestasi. Sebaliknya, anak-anak yang tumbuh dalam tekanan, ancaman, dan tidak pernah dipuji akan menjadi manusia-manusia kerdil yang kehilangan kepercayaan diri, mudah iri dan gampang terpancing rasa benci. Mereka suka ikut-ikutan, tidak kreatif dan tuna harga diri. Lebih parah lagi, mereka bisa menjadi generasi pencemooh yang suka mengolok-olok dan merusak prestasi sesamanya atau fasilitas publik.
Apakah bangsa ini telah membangun budaya apresiasi yang menjadi bagian penting dari pembentukan karakter pribadi? Bukankah Ki Hajar Dewantara telah menanamkan semboyan pendidikan yang sangat mulia: Ing ngarso asung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani? (Berjalan di depan memberikan contoh, di tengah-tengah membangun karsa dan inisiatif, dan berjalan di belakang sambil memberdayakan)
VOLTAIRE
Voltaire, filsuf Perancis, juga pernah mengingatkan:”Appreciation is wonderful thing. It makes what is excellent in others belong to us as well.” Apresiasi itu sesuatu yang luar biasa indah. Itu membuat apa yang sangat bagus dalam diri sesama menjadi milik kita juga.
MoBert250418