Review Acehnologi (Volume 2: 19) Sastra Aceh

in #aceh6 years ago

image
http://helloacehku.com

Sastra Aceh tidak akan bisa lepas dari bagian kajian Acehnologi, karena banyak pemikiran dari para leluhur Aceh yang menuangkannya pada karya sastra, salah satu contohnya adalah hikayat. Tentu saja pemikiran-pemikiran dari leluhur ini mempunyai kaitan dengan kondisi masyarkat Aceh termasuk kehidupan pada masanya. Tanpa melibatkan sastra dalam membangun Acehnologi, sama saja dengan membangun rumah tanpa fondasi. Sastra Aceh, Acehnologi tidak memiliki akar yang cukup kuat dalam studi ke Acehan. Sebab pemikiran para endatu lebih banyak disajikan dalam bentuk-bentuk karya sastra. Beberapa simbol dan simpul pemikiran Aceh yang sangat otentik, dapat ditemukan dalam karya-karya sastrawan Aceh. oleh sebab itu, menggali sastra Aceh sama dengan menggali aspek kebatinan dan kejiwaan orang Aceh.

Sastra Aceh berkaitan dengan Sastra Melayu, hal ini terjadi karena pusat politik Melayu adalah Aceh hingga menyebabkan karya-karya sastra cenderung dilihat dan dianalisa dari perspektif Sejarah Melayu. Teuku Iskandar mengatakan bahwa “Kesusastraan Aceh merupakan lanjutan kesusastraan Pasai dan Melaka. Sesudah jatuhnya Melaka ke tangan orang Portugis dan Pasai dikalahkan pusat kebudayaan Melayu berpindah ke Bandar Aceh Darussalam”. Sastra Aceh tenggelam seiring karya ulama Aceh di dalam bahasa Melayu.

Ketika Aceh melawan Belanda pada 1873, salah satu instrumen penting yang memicu perlawanan terhadap penjajah tersebut adalah karya sastra, yaitu Hikayat Prang Sabi. Syair yang digunakan menggunakan bahasa Aceh ini telah memberikan spirit bagi para pahlawan Aceh di dalam melawan Belanda.

Yang dipandang sebagai sastra Aceh adalah sastra yang berbahasa Aceh baik yang berbentuk tulisan maupun lisan, sastra Aceh memiliki akar tersendiri yaitu seperti budaya Aceh, bahasa Aceh, dan sejarah Aceh. ketiga hal tersebut yang dapat mengikat sastra Aceh. kemudian Islam menjadi spirit yang mendasari karya sastra Aceh, yang dipantulkan dalam berbagai aspek dan rupa kehidupan rakyat Aceh. Juga ruh yang menjiwai sastra Aceh adalah spirit dari Islam. Mendominasinya sastra yang ada di pulau Jawa, membuat sastra-satra di Indonesia tenggelam secara perlahan.

Terdapat 5 tahapan mengenai periode Sastra Aceh. Pertama, periode animisme yang ditandai dengan corak takhayul atau kepercayaan terhadap makhluk tertentu yang memiliki kekuatan luar biasa. Kedua, periopde Hindu dimana Sastra Aceh sudah mulai bersentuhan dengan alam kepercayaan Hindu. Keriga, periode antara Hindu dan Islam, dimana karya Sastra Aceh sudah mulai mengalami proses pembaharuan dan pergeseran nilai budaya Hindu ke nilai budaya Islam. Keempat, periode Islam, dimana karya Sastra Aceh telah mulai mengalami perubahan yang sangat signifikan. Kelima, periode mutakhir dimana karya Sastra Aceh.

Sastra bagi orang Aceh merupakan cara untuk membangkitkan kesadaran, yang menghubungkan antara imajinasi sosial dengan imajinasi kebatinan. Ekspresi kebatinan seseorang yang kemudian ditampilkan dalam bahasa simbolik, yang sangat mendalam maknanya. Karya sastra orang Aceh pada dasarnya bukanlah ingin merambah sesuatu yang ada diluar kemampuan manusia, melainkan membawa manusia itu sendiri untuk memahami hakikat kemanusiannya. Oleh sebab itu suasana kebatinan dan kebahagiaan bagi orang Aceh adalah direalisasikan melalui syair dan cerita rakyat. Jiwa orang Aceh telah ditanamkan dalam karya-karya sastra. Oleh karena itu, siapa saja yang ingin memahami dan mendalami jiwa masyarakat Aceh, maka mau tidak mau harus menekuni karya sastra. Sastra di Aceh ditampilkan melalui media hiburan, seperti dari tarian hingga drama sebagai bentuk bahasa jiwa.

Sekarang ini tidak hanya diminati oleh kalangan nasional tetapi juga internasional. Walaupun generasi anak muda sekarang sastra Aceh ini tidak terlalu akrab. Contohnya seperti haba (cerita dongeng) diganti dengan sinetron, seudati dinikmati oleh kalangan tertentu. Berbeda dengan zaman dulu, hal-hal yang disampaikan tadi sangat mudah kita jumpai di dalam kehidupan masyarakat Aceh. bahkan, dalam pertahun seluruh kaarya ini dipertunjukan di lapangan bola. Setelah berakhir konflik Indonesia dengan GAM, perlahan-lahan sastra Aceh muncul kembali kehidupan orang Aceh.