Filsafat Aceh (II:16)
(sumber foto : busy.org)
Di Aceh juga dapat diketemukan * adventure of ideas* sebagai bagian dari sejarah filsafat, yaitu penjelasan proses yang memiliki pangkal dan ujung yang kemudian berwujud sebagai sistem ide. Orang Aceh sering menyebut istilah endatu, agaknya dapat disebut dengan leluhur. Setiap ada sesuatu hasil penalaran tempo doeloe selalu disebutkan dengan istilah euleume endatu (ilmu leluhur). Adapun untuk istilah waktu, disebut dengan istilah zameun (zaman). Untuk menghubungkan informaso antara satu waktu dengan waktu yang lain digunakan istilah haba (kabar). Untuk membatasi ruang disebutkan dengan istilah nanggroe (negeri). Ketika sudah negeri dibina dan dibangun, orang Aceh menyebutkan dengan istilah puga nanggroe. Keseimbangan suatu nanggroe dapat terlaksana melalui konsep timang (sejajar). Karena itu, untuk memapah nanggroe ada ilmu peutimang nanggroe. Narasi ini memperlihatkan bahwa ada ajakan untuk memahami kembali sistem ide yang sudah terbentuk sejak zaman endatu orang Aceh. (hal 458)
Orang Aceh beranggapan bahwa tindak tanduk di dunia ini semua memiliki hikmah (mandum na hikmah). Karena itu, banyak yang bertanya apa yang mendasari cara berpikir orang Aceh ketika mereka selalu berhadapan dengan konflik. Bahkan ketika Tsunami, tidak sedikit yang bertanya-tanya, apa yang membuat orang Aceh mampu bertahan dari musibah yang menimpa di bumi Aceh. Bahkan William Nessen dalam filmnya The Black Road bingung memikirkan orang Aceh, dimana ketika melihat orang Aceh ditimpa Tsunami, masih ada senyum di bibir orang Aceh.
(sumber foto: aswajamuda.com)
Pada bab sebelumnya, telah dipaparkan mengenai konsep kosmologi Aceh, dimana semuanya diserahkan kepada Allah (puwoe bak Allah). Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hakikat orang Aceh adalah mereka yang mampu menghadirkan sikap dan karakter di dalam kehidupan mereka pada kecintaan yang berlebihan pada Allah. Sehingga, mereka menghubungkan setiap gerak kehidupannya pada titik akhir yaitu Allah. (hal 460)