Mewujudkan kawasan metropolitan Aceh
PERKEMBANGAN kota Banda Aceh yang progresif membuat keterbatasan akan lahan semakin menjadi-jadi. Belakangan ini berkembang wacana perluasan wilayah administrasi Kota Banda Aceh sebagai satu solusi penanganannya. Wacana ini sendiri telah digagas oleh Mustafa Abubakar, saat menjadi Pj Gubernur Aceh pada 2007 silam. Namun ditolak tegas oleh Pemkab Aceh Besar (Serambi, 24/3/2015). Lebih lanjut, harian ini juga menurunkan tulisan opini dari saudara Amri (Serambi, 24/3/2015) dan Fahmi Abduh (Serambi, 15/4/2015) yang kembali mewacanakan pentingnya upaya kedua otoritas lokal, Pemko Banda Aceh dan Pemkab Aceh Besar, serta Pemerintah Aceh sebagai mediator untuk segera menemukan kebijakan yang tepat terkait masalah tata ruang wilayah ini.
Saya pribadi berpendapat bahwa perluasan wilayah administrasi Kota Banda Aceh, yang tentu saja akan mengakuisisi wilayah administrasi Kabupaten Aceh Besar ini, bukanlah kebijakan yang populis dan berkelanjutan. Bahkan, gagasan ini bisa jadi akan mendatangkan polemik atau konflik baru antara kedua otoritas lokal. Sejauh pemahaman saya, perkembangan suatu wilayah, tidak akan pernah mampu dihentikan, yang terpenting adalah bagaimana kita mengelola dan mengantisipasinya dengan perencanaan kebijakan yang matang.
Jika kali ini, Banda Aceh mendapatkan “porsi” wilayah administrasi dari Pemkab Aceh Besar, apakah ada jaminan tambahan “porsi” wilayah administrasi itu akan cukup untuk masa yang akan datang? Jika kelak masalah yang sama terjadi, apakah kemudian otoritas lokal Banda Aceh akan kembali “mencaplok” wilayah administrasi Aceh Besar? Alih-alih bergandengan tangan dalam pembangunan, perluasan wilayah administrasi Kota Banda Aceh ibarat virus yang bakal akan terus menggeregoti wilayah administrasi Kabupaten Aceh Besar, bukankah begitu?Namun di sisi lain, bukankah krisis keruangan di Kota Banda Acehhari ini sudah sangat mendesak? Jadi pada titik ini, apa yang harus kita lakukan?
Pemerataan pembangunan
Pernahkah kita mendengar Amerika Serikat (AS), satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia saat ini, dengan total luasan wilayah administrasinya mencapai 9.147.593 Km persegi, berupaya memperluas ibu kota negaranya, Washington DC yang hanya memiliki total luasan wilayah administrasi 177 Km persegi? Tentu saja jawabannya tidak. Jadi persoalan yang sedang kita hadapi saat ini adalah bukan pada kondisi luas wilayah administrasi Kota Banda Aceh yang kecil atau terbatas, melainkan lebih kepada pemerataan pembangunan, terutama pusat-pusat pelayanan kegiatan ekonomi dan aksesibilitas transportasi publik yang terpadu dan terhubung (integrated andconnected public transportation system).
Kebutuhan akan ketersediaan lahan akibat pertumbuhan wilayah kota yang progressif dan massif menjadi tantangan tersendiri bagi hampir seluruh kota di Indonesia. Dalam rangka mengendalikan pertumbuhan wilayah kota Banda Aceh, infrastruktur dan isu-isu pembangunan yang tidak mengenal batas wilayah administrasi ini (cross-jurisdictional boundaries), saya mengusulkan gagasan pembentukan pemerintahan regional (regional governance). Wacana ini masih sangat jarang kita temukan dalam dinamika pengelolaan perkotaan di Indonesia.
Kembali merujuk pada AS, hampir semua wilayah kota di AS telah mengadopsi sistem pemerintahan regional ini. Sebut saja misalnya Kota Portland yang terletak di Negara Bagian Oregon dan beberapa kota yang secara geografis berbatasan dengannya. Pada era 1950-an, pemimpin otoritas lokal Kota Portland memandang pentingnya perencanaan perluasan perkotaan untuk menyediakan kebutuhan lahan pembangunan yang semakin terbatas. Dalam rangka mengelola isu pertumbuhan perkotaan, infrastruktur dan pembangunan di berbagai sektor lainnya, otoritas lokal membentuk sebuah lembaga yang khusus menangani dan mengeksekusi kebijakan terkait isu-isu pertumbuhan perkotaan yang sekali lagi acapkali tidak mengenal batasan administrasi, bukan dengan memperluas wilayah administrasi Kota Portland itu sendiri. Kebijakan ini merupakan yang pertama sekali dan kemudian diikuti oleh berbagai kota dan negara bagian lain di AS.
Adapun kewenangan lembaga yang disebut dengan Oregon Metro ini adalah dalam hal penyediaan sarana transportasi publik antar kota yang berfungsi sebagai moda sirkulasi arus transportasi ini yang paling penting. Selain itu, lembaga ini memiliki visi perencanaan jangka panjang yang mengakomodasi kebijakan transportasi di masa yang akan datang antara wilayah-wilayah yang berada di bawah kewenangannya, kebutuhan akan lahan terbuka hijau, kawasan-kawasan cagar alam dan budaya, serta tentunya penyediaan jalan strategis yang menghubungkan antar-kawasan metro.
Jika kita menelaah peluang memberlakukan kebijakan yang sama terhadap Aceh, maka tentu saja dibutuhkan studi kelayakan yang komprehensif dan menyeluruh karena akan bersentuhan dengan sistem birokrasi yang sangat bertingkat. Namun, bukan berarti itu adalah hal yang mustahil kita wujudkan, bukan? Tentu saja saya sangat sepakat jika kita lebih mengutamakan pendekatan karaksteristik lokal yang kita miliki (make it local) dalam perwujudan konsep manajemen perkotaan ini. Namun yang perlu diingat adalah, persoalan pertumbuhan wilayah yang progressif bukan hanya baru dirasakan oleh Aceh saja, di luar sana sudah cukup banyak kota-kota yang memiliki permasalahan yang sama dengan apa yang kita hadapi hari ini.
Tinggal mengikuti
Dalam konteks pembangunan wilayah baik itu perkotaan maupun perdesaan, kita tidak perlu mengeluarkan biaya mahal hanya untuk mengulangi “percobaan” yang sama, karena kota-kota yang ada di negara maju itu telah pun membuka cakrawala berpikir kita untuk belajar dari apa yang telah mereka hadapi. Kita tinggal mengikuti saja, jangan pula terjerumus ke dalam masalah yang sama.
Tentu saja, saya kira tidak ada yang akan dirugikan dalam penentuan kawasan metropolitan Aceh dan pembentukan lembaga --sebut sajalah “Aceh Metro” ini-- jika berdiri pada posisi Pemkab Aceh Besar, secara administrasi tidak ada wilayah yang hilang, sehingga potensi PAD dari wilayah-wilayah eksisting saat ini terutama sub-urban (pinggiran perkotaan) akan masih menjadi kekayaan daerah bagi Pemkab Aceh Besar. Di sisi Pemko Banda Aceh, meskipun wilayah administratifnya hanya berkisar 62 Km persegi saja, namun mereka memiliki daya tarik ekonomi (leverage factor) sebagai satu kawasan ibu kota dimana pusat aktivitas ekonomi teraglomerasi di rata tempat, tentu saja dalam konteks ini mereka butuh kawasan penyangga. Nah, mengapa tidak kita terapkan konsep u bek beukah, kuah beuleumak ini?
Gagasan saya ini jika ditinjau dari aspek legalitas hukumnya maka akan menjadi krusial, terutama lagi Aceh pascadamai hari ini, telah mendapat kesempatan yang luar biasa untuk lebih memacu pembangunannya guna menjadi pemerintah provinsi terdepan di Indonesia melalui penerapan Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentan Pemerintahan Aceh (UUPA). Bab II tentang pembagian daerah Aceh dan kawasan khusus Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di Aceh dan/atau Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus. Lebih lanjut, ayat (3) pada pasal yang sama menyebutkan Pemerintah Aceh bersama pemerintah kabupaten/kota dapat mengusulkan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mendapat persetujuan DPRA/DPRK. Mencermati hal ini, sudah saatnya kawasan khusus itu ditetapkandan diimbangi dengan pembentukan lembaga khusus yang memiliki otoritas dalam menjalankan sebagian kewenangan pemko atau pemkab dan kewenangan pemerintah provinsi. Saya membayangkan, lembaga khusus ini nantinya akan diisi oleh pihak-pihak pengambil keputusan baik yang berasal dari Pemkab Aceh Besar, Pemko Banda Aceh, dan Pemerintah Aceh. Demikian, semoga bermanfaat!
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Mewujudkan Kawasan Metropolitan Aceh, https://aceh.tribunnews.com/2015/04/27/mewujudkan-kawasan-metropolitan-aceh#.