Menapaki Jejak Tsunami Aceh (part 2)
Matahari tak bersemangat bersinar, bagiku cahaya terlalu kelam untuk jam jam siang seperti biasanya, bangunan rumah Toke Leman yang letaknya persis di persimpangan jalan sebagai perbatasan Lamseunong dan Lampeudaya masih nampak berdiri dari kejauhan.
Ketika kami mendekat, ternyata ada beberapa orang yang berteriak girang, mereka selamat dan melambaikan tangan dari teras lantai dua.
Lalu isyarat tangan menyuap diri sendiri mereka sampaikan, spontan kami mengerti mereka kelaparan, namun kenapa mereka tidak segera turun, apakah mereka terkurung? apakah mereka cedera atau ataukah mereka trauma ?
Tak ada satu jawaban yang pasti sebelum bertanya langsung, biarkan pertanyaan itu menggantung, sekarang adalah mencari makanan buat mereka.
kami begitu bersemangat bergerilya mencari sebanyak mungkin makanan dan minuman yang dapat kami kumpulkan.
Merasa cukup kami pun bergegas, semua pintu dan jendela masih utuh, namun retak sepanjang dinding masuk kategori berat dan rumah ini sudah tak layak huni, harus dirobohkan.j
Setelah memutar jalan belakang, ternyata dindingnya telah bobol, sebuah mayat laki laki tambun terhampar di bawah tangga, matanya melotot tajam, sedikit terperanjat.
Aku menenangkan diri dan mulai menaiki tangga perlahan di ikuti ke tiga kawan yg menenteng makanan dan minuman yang kami temukan.
Ada 10 orang diatas terlihat pasrah, seorang anak perempuan yang digendong lelaki dewasa terlihat berlumpur, seorang lagi terlihat sumringah saat makanan tiba, sementara tangan mungilnya memegang erat jemari wanita dewasa, aku menduga mereka satu keluarga yang selamat.
Sulit membayangkan rasa lapar yg mendera anak sekecil itu, sementara 2 laki laki dewasa lain langsung mencecar kami menanyakan informasi keadaan.
3 orang perempuan paruh baya masih bersama seorang kakek tak bergeming ketika kami tiba, mereka tergugu, sesengukan, sama sekali wajah mereka tak mirip, bibir yg bergetar melafazkan la ila haillah, ada sesak yg tertahan, ada putus asa yg merampasnya dicoba lawan sekuat tenaga.
Perlahan bulir mataku mengalir, suasana ini menyentak pilu. Kutatap kawan yang lain, mendung telah hinggap di rona mata mereka.
Tak Satu orang pun tak kami kenal, namun nasib sama sama menjadi korban telah membuat kami senasib dan sepenanggungan.
Gambaran kondisi Gampong Lampeudaya hanya limpahan terakhir gelombang dan satu satunya jalan evakuasi, kami menyarankan kita bergerak bersama keluar dari rumah ini sebelum magrib datang.
Salah seorang Kakek yang terluka parah harus dipapah, kami memilih Agus sebagai orang yang berbadan besar dan punya tenaga yang kuat bertugas untuk itu.
Setelah menimbang dan menaksir arah, sebaiknya kakek tersebut harus segera mendapat pertolongan dengan memutar jalur jalan Gampong Klieng ke Arah Miruk Taman, sebagai jalan akses jalan yang lebih ramai, Agus mengiyakan, tak ada penolakan sama sekali.
Kami semua melepas Agus dan kakek tua yang berangkat sampai menghilang dipelupuk mata dan berharap yang terbaik untuk mereka.
Senja mulai datang, duka menyelimuti negeri, sepanjang jalan kami memasang telinga baik baik, siapa tau masih ada yang mampu berteriak minta tolong dan benar adanya.
Seorang pemuda bersusah payah mengayuh papan yang dijadikan semacam rakit mendorong dirinya diantara genangan air yang tersisa.
Sebenarnya kawasan Blang Sireh yang terletak antara Lampeudaya dan Lamseunong, tanahnya sudah dikerok sebagai bahan untuk tanah pabrik batu bata, dan kala air hujan datang, sawah sawah tersebut menjadi danau buatan dan kami jadikan tempat berenang.
Lelaki muda tersebut patah tulang pahanya, meringis kesakitan namun bertahan dalam penderitaan. Segera kami angkat dan kami bantu bersama menuju Gampong untuk menunggu pertolongan.
Semburat senja diufuk barat telah tiba, sebuah mobil truk datang, menyisakan debu di jalan Gampong.
Truk sudah bolak balik mengangkat mayat dan korban untuk di pindahkan ke penampungan sementara di halaman mesjid Lambaro Angan.
Aku, Muli dan Weah memutuskan untuk kembali kerumah, mengecek sebentar pintu pintu rumah apakah sudah terkunci atau belum.
Motor supra yang terparkir dirumah rencana aku keluarkan, namun sulit, lumpur setinggi lutut telah menahannya.
Listrik tak kunjung hidup, kegelapan telah menyelimuti gampong. Setelah berkumpul dan shalat magrib berjamaah di Meunasah kami meneruskan perjalanan ke Mesjid Lambaro Angan dengan jalan kaki yang hanya 1 km, jarak yang biasa kami tempuh saat bersekolah.
Aku dan keluarga beberapa kali pindah tempat pengungsian, Bueng Cala, Blang Bintang kemudian ke Tungkob tempat rumah Bang Sofyan masih saudara dekat, kemudian ke Gampong Cot, Lambaro Angan.
Malam Malam berlalu, mayoritas kami masih disergap ketakutan akan Gempa susulan, Mesjid mesjid yang penuh sesak saat waktu shalat wajib, di pengungsian kami mendengar semua cerita heroik dari mereka yang selamat dalam pusaran air pekat, Mesjid mesjid yang masih berdiri kokoh, dan pencarian jenazah yang tak kunjung habis di temukan.
Keluarga besar masih menyisakan pilu, Paman Maun belum kami temukan jenazahnya*, beberapa tempat pemakaman massal kami sasar, namun namanya tak terlacak, raib.
Pagi pagi kami penduduk Kembali membersihkan rumah, kemudian selanjutnya tindakan berantai lain berlanjut, Mencari sumber minyak dari tangki dan drum drum yang tersapu gelombang, kemudian beralih mencari harta karun dalam bentuk uang tunai di dalam koper dan dompet para mayat bahkan ada yg mengangkat sepeda motor untuk diperbaiki kembali.
Bahkan sempat aku sendiri menjadi penukar uang rupiah yang rusak dari warga Gampong untuk ditukar dengan yang baru di Bank Indonesia yang pindah alamat sementara di seputaran Lamteumen.
Cerita ini kutuliskan kembali, sebagai refleksi Tsunami 15 Tahun lalu, tanpa banyak dialog untuk menggambarkan betapa kita akan kehilangan kata kata saat berhadapan dengan kuasanya, Allahu Akbar.
- mayat paman Maun ditemukan utuh dibelakang mushalla desa, berdasarkan bukti KTP Merah putih yang masih tersimpan di Dompetnya, setelah lebih dari 3 Bulan Tsunami menerpa Gampong kami.
Lampeudaya, 26 Desember 2019.