SIAPAKAH AHLUSSUNNAH WALJAMA'AH.?

in #aceh6 years ago

PARA STEEMIT SEMUA YANG DI RAHMATI ALLAH, MAUKAH KITA BAHAS DI SINI,.

Adalah merupakan fakta yang tidak terbantahkan, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, bahwa Ummat Nabi Muhammad ini telah terpecah belah di masa-masa awal. Di akhir pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib telah menyempal beberapa kelompok sempalan dari mayoritas Ummat Nabi Muhammad seperti kelompok Khawarij, Syi’ah dan lain sebagainya. Dengan berlalunya waktu, kelompok-kelompok sesat, kelompok-kelompok menyimpang ini terus bermunculan. Tidak bisa dikatakan bahwa semua kelompok menyimpang ini muslim, semua kelompok itu benar, semua kelompok itu selamat, karena Nabi Muhammad bersabda:
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ إِلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِى النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِىَ الْجَمَاعَةُ.
“Orang-orang Yahudi terpecah belah menjadi 71 golongan, orang-orang Nasrani terpecah belah menjadi 72 golongan dan ummat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan, seluruhnya berhak masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu al-Jama’ah.” (HR. Abu Dawud dalam sunannya)

Para ulama’ menyepakati bahwa perpecahan yang dimaksud bukan perbedaan dalam bidang furu’. Perbedaan dalam bidang furu’ sudah terjadi di kalangan para sahabat Nabi dan generasi salaf tanpa ada yang mengingkarinya. Demikian juga perbedaan dalam furu’ ini jauh dari klaim sesat dan kafir terhadap kelompok lain sehingga tidak menimbulkan efek perpecahan sama sekali.

72 golongan tersebut tidak bisa dikatakan semuanya benar dan semua ajarannya adalah ajaran Islam. Karena Nabi tidak mengatakan semuanya akan selamat. Nabi mengatakan semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu al-Jama’ah; golongan mayoritas di kalangan ummat Nabi Muhammad.

Golongan yang selamat, yaitu jumlah mayoritas ini kemudian dikenal dengan istilah Ahlussunnah Waljama’ah dan 72 golongan tersebut adalah golongan yang menyimpang dan sesat. Menyebarnya golongan yang menyimpang dan sesat setelah tahun 260 H, seperti Mu’tazilah dan Musyabbihah. Kemudian muncullah dua tokoh imam yang agung, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) menjelaskan aqidah Ahlussunnah Waljama’ah yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka. Sehingga Ahlussunnah Waljama’ah disandarkan kepada keduanya. Akhirnya mereka (Ahlussunnah) dikenal dengan nama al-Asy’ariyyun (para pengikut al-Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut al-Maturidi).

Prinsip-prinsip Aqidah Ahlussunnah Walajama’ah:

  1. Mengenal Allah dan Rasul-Nya
    Mengenal Allah adalah mengetahui dan meyakini bahwa Allah ada, tanpa keraguan sedikitpun. Allah ada tanpa permulaan, sebelum segala sesuatu ada. Allah tidak menyerupai sesuatu pun di antara makhluk-Nya. Allah adalah pencipta segala sesuatu.
    Mengenal Rasulullah adalah mengetahui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad bin Abdullah adalah utusan Allah. Ia senantiasa jujur dan benar dalam segala hal yang disampaikan.
    Orang yang telah meyakini sepenuhnya dua hal tersebut tanpa keraguan sedikitpun, maka ia telah mengenal Allah dan Rasul-Nya, ia telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik ia mengetahui dalil akal tentang hal itu atau tidak.

  2. Mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya (Tanzih)
    Yaitu meyakini bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya pada Dzat, sifat dan perbuatan-Nya.
    Dzat Allah bukanlah benda yang memiliki ukuran besar atau kecil, Dzat Allah bukanlah benda yang bisa dipegang dengan tangan (seperti manusia, pepohonan, tumbuh-tumbuhan) dan juga bukan benda yang tidak bisa dipegang oleh tangan (seperti cahaya, kegelapan, roh, angin dan sebagainya).
    Sifat-sifat Allah tidak menyerupai sifat makhluk-Nya, jika ada persamaan lafazh, maka tidak berarti sifat-sifat Allah menyerupai sifa-sifat makhluk-Nya, melainkan itu hanyalah lafazh yang sama, namun maknanya berbeda (seperti Allah mempunyai sifat maha melihat, maka melihatnya Allah berbeda dengan manusia. Manusia melihat dengan mata, membutuhkan cahaya dan jarak. Sedangkan Allah melihat tanpa mata, tidak membutuhkan cahaya dan tidak membutuhkan jarak; dekat atau jauh).
    Perbuatan Allah azali, bukan dengan bergerak, menyentuh, mengangkat, menggunakan alat dan semacamnya. Allah menciptakan segala sesuatu dengan kehendak dan kekuasaan-Nya yang tidak memiliki permulaan (azali).
    Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah

  3. Menetapkan sifat-sifat bagi Allah
    Di antara sekian banyak sifat-sifat Allah, sifat-sifat Allah yang wajib diketahui oleh setiap orang mukallaf adalah sifat Allah yang 13 (sifat 20). Hal ini ditegaskan oleh para ulama’ salaf dan khalaf seperti al-Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam an-Nawawi dalam al-Maqashid dan para ulama’ lainnya. Ini dikarenakan 13 sifat (sifat 20) tersebut adalah syarat ketuhanan, seandainya Allah tidak memiliki sifat-sifat 13 tersebut niscaya alam ini tidak akan ada.
    Selain sifat-sifat Allah yang 13 tersebut, masih ada sifat-sifat Allah yang lain seperti SIFAT AL-AF’AL (sifat at-Takwin seperti sifat penciptaan, sifat pemberi rizqi, sifat yang menghidupkan, sifat yang mematikan, dan lainnya) dan SIFAT KHABARIYAYAH (seperti al-Wajh, al-Ain dan al-Yad yang bukan bermakna anggota badan atau bagian tubuh, tetapi memiliki makna yang layak bagi Allah). Terkadang sifat-sifat tersebut boleh ditakwil untuk menghindarkan orang awam dari pemahaman tasybih dan jismiyyah. Ada dua metode yang ditempuh para ulama;

Pertama metode TAKWIL TAFSHILI, seperti kata istawa maknanya qahara (menundukkan dan menguasai). Takwil Tafshili ini adalah metode sebagian ulama’ salaf seperti Ibnu Abbas, Mujahid, al-Awza’i, Sufyan ats-Tsauri, Malik Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari dan lainnya dan juga metode ulama’ khalaf.

Kedua metode TAKWIL IJMALI, seperti menetapkan al-Wajh bagi Allah sebagai sifat bukan sebagai bentuk dan gambar. Menetapkan sifat al’Ayn bagi Allah sebagai sifat bukan dari sisi sebagai kelopak mata. Dan menetapkan al-Yad bagi Allah sebagai sifat bukan sebagai anggota badan. Takwil ijmali adalah metode mayoritas ulama’ salaf.

  1. Perbuatan hamba adalah ciptaan Allah
    Aqidah Islam menetapkan bahwa seorang hamba memiliki perbuatan yang dilakukannya dengan kehendaknya, dan Allah yang menciptakannya, bukan hamba.

  2. Tidak mengkafirkan seorang muslim karena berbuat dosa.
    Kita tidak mengkafirkan seorangpun di antara kaum muslimin karena perbuatan dosa yang dilakukannya selama ia tidak menghalalkannya, kita juga tidak mengatakan selama orang beriman dosa apapun yang dilakukannya tidak membahayakannya. (lihat Abdullah al-Harari, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm 247)

  3. Prinsip-prinsip keimanan yang enam
    Selain beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, masih ada prinsip-prinsip keyakinan yang harus diyakini oleh setiap mukallaf. Di antaranya adalah beriman kepada para malaikat, beriman kepada para nabi dan rasul, beriman kepada kitab-kitab Allah, beriman kepada hari akhir dan beriman kepada Qadar Allah. Enam prinsip keyakinan ini dikenal dengan Ushul al-Iman as-Sittah (pilar-pilar iman yang enam)

  4. Kepemimpinan ummat
    Ahlussunnah Waljama’ah menyatakan bahwa mengangkat seorang pemimpin ummat adalah sebuah kewajiban, namun bukan merupakan salah satu di antara rukun Islam maupun rukun Iman. Kewajiban ini berlaku saat kaum muslimin mampu melaksanakannya dan kondisi memungkinkan, yakni dengan mempertimbangkan kemaslahatan sehingga tidak akan mengancam dan membahayakan keselamatan dan kepentingan ummat secara umum.

Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah, taufiq dan inayah kepada kita, sehingga kita menjadi hamba yang diridhai dan menjadi ummat Nabi Muhammad yang dibanggakan, aamiin.