Seblak Malam di Simpang Rangkaya
Malam itu, angin bertiup lembut membelai kulit, membawa aroma khas kota kecil yang baru selesai diguyur gerimis sore. Jalanan di simpang Rangkaya mulai lengang, hanya beberapa kendaraan melintas perlahan.
Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di aspal basah, menciptakan suasana yang damai namun mengundang selera.
Saya dan istri saya baru saja pulang dari ke rumah teman. Perjalanan pulang sebenarnya bisa berlangsung lurus ke rumah, tapi perut kami seolah sepakat untuk memberontak. Sejak sore belum ada makanan berat yang masuk.
"Apa kita mampir dula sayang? Tanya istri sambil memegang lengan saya lembut. Matanya mengarah pada sebuah warung terang benderang di sudut simpang. Seblak prasmanan manalagi.
Saya tersenyum. Kita beli, taoi makan di rumah saja ya. Hawa malam kayak gini enaknya makan sembil selonjor.
Dia mengangguk cepat. Senyumnya selalu jadi penyedap rasa tersendiri, bahkan sebelum seblaknya sisantap.
Kami turun dari motor dan di sambut semerbak wangi kencur dan cabai tumis dari wajan besar. Seblak Manalagi ternyata cukup ramai, meski waktu sudah hampir pukul 10 malam. Kedai ini berbeda dari seblak biasa, konsep prasmanan membuat kami bisa memilih sendiri isian. Kerupuk, makaroni, sosis, siomay, batagor, ceker dan bahkan tambahan keju atau telur puyuh.
"yang ini 2, terus tambahin tahu pedasnya, ya" s kata saya sambil menunjuk satu per satu.
Istri saya di di dalam kedai asyik memilih isian favoritnya, selalu ada ceker dan mie kuning. Kami memilih level pedas yang berbeda, saya 3 dia 2. Cukup untuk membuat keringat keluar tapu tetap nikmat disantap.
" Dibungkus dua, ucap saya. Sang penjual mengangguk sambil mulai mengolah pesanan di atas kompor besar.
Sambil menunggu, saya dan istri duduk sebentar di kursi plastik dekat kedai, obrolan ringan mengalir, sesekali diselingi tawa kecil. Suasana malam yang sederhana itu terasa seperti potongan kebahagiaan yang sering kita abaikan. Kehangatan dalam kebersamaan, waktu hanya dengan sebungkus seblak.
Setelah pesanan selesai, kami kembali ke motor dan pulang. Sampai rumah, aroma seblak langsung memenuhi ruang tamu saat plastik dibuka. Mangkuk disiapkan dan tak lama kemudian kami duduk bersisian di lantai, TV menyala tapi tak terlalu diperhatikan.
Setiap suapan membawa rasa hangat dan pedas, tapi yang paling terasa justru kenyamanan akan kebersamaan. Di antara seruput kuah dan suara renyah kerupuk basah, ada cinta yang diam-diam terjaga.
Seblak Manalagi malam itu bukan sekedar makanan, ia jadi alasan kecil untuk berhenti sejenak dari rutinitas, untuk menikmati waktu dengan orang yang paling dicinta.
Dan malam itu, simpang Rangkaya menjadi saksi, bahwa cara bisa terasa dari hal sederhana, seperti semangkuk seblak yang disantap berdua di rumah.