Beberapa Regulasi tentang Zakat di Aceh
Pada tahun 1969 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 1969 tentang Pembentukan Panitia Penggunaan Uang Zakat yang diketuai Menko Kesra Dr. KH. Idham Chalid. Perkembangan selanjutnya di lingkungan pegawai kementerian/lembaga/BUMN dibentuk pengelola zakat di bawah koordinasi badan kerohanian Islam setempat.
Keberadaan pengelola zakat semi-pemerintah secara nasional dikukuhkan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29 dan Nomor 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Bazis yang diterbitkan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri setelah melalui Musyawarah Nasional MUI IV tahun 1990. Langkah tersebut juga diikuti dengan dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis Bazis sebagai aturan pelaksanaannya.
Jika Pemerintah Pusat menemukan suatu kemajuan dalam pengelolaan zakat, tetapi pemerintah Provinsi Aceh mengalami kemunduran dalam pengelolaan zakat jika dibandingkan dengan masa sebelum kemerdekaan. Karena zakat pada masa penjajahan Belanda dijadikan sebagai dana peperangan umat Islam sehingga mendapat larangan dari pemerintah Belanda dalam mengutip zakat.
Semangat dalam menjalankan syariat Islam di Aceh menghadirkan lembaga zakat yang disebut juga dengan Baitul Mal yang merupakan lembaga resmi pengelola zakat di Aceh. Terdapat beberapa undang-undang untuk mendukung pelaksanaan syariat Islam secara kafah di Aceh seperti UU Nomor 44/1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh, dan UU Nomor 18/2001 tentang Otonomi Khusus.
Kedua undang-undang tersebut merupakan landasan awal terbentuknya lembaga Baitul Mal di Aceh sebagai lembaga resmi pengelola zakat dan harta agama. Selain itu, juga menjadi landasan terwujudnya Qanun Nomor 7/2004 tentang Pengelolaan Zakat.
Perkembangan aturan zakat di Aceh terus berbenah diri dengan melahirkan beberapa aturan baru, di antaranya hadir Undang-undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dalam Pasal 180 disebutkan 1). Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud Pasal 179 ayat (2) huruf a terdiri atas pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan milik Aceh/kabupaten/kota dan hasil penyertaan modal Aceh/kabupaten/ kota; zakat; dan lain-lain pendapatan asli Aceh dan pendapatan asli kabupaten/kota yang sah, 2) Pengelolaan sumber PAD Aceh dan PAD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan berpedoman pada peraturan perundang- undangan.
Namun keberadaan zakat sebagai PAD belum mendapatkan perlakuan yang mendukung zakat sebagai PAD. Pihak Baitul Mal yang menjadi lembaga resmi dalam mendistribusikan zakat tidak dapat menyalurkan secara langsung zakat yang terhimpun kepada mustahik, namun harus menyetor lebih dahulu ke kas daerah seperti ketentuan PAD murni. Begitu juga dengan mekanisme pencairannya, selama ini pihak Baitul Mal tidak menggunakan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dalam mencairkan anggaran. Akibatnya, realisasi distribusi zakat oleh Baitul Mal menjadi temuan BPK setiap tahun, karena tidak mengikuti mekanisme laporan PAD.
Selain itu, Baitul Mal sebagai penyelenggaraan zakat harus mentenderkan semua kegiatan yang berbau pengadaan barang dan jasa. Hal tersebut kontradiktif dengan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pada Pasal 191 disebutkan bahwa: 1). Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal kabupaten/kota, 2). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan qanun. Dalam Pasal 192 disebutkan bahwa zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terutang dari wajib pajak. Dalam pasal 191 di atas, zakat dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal kabupaten/kota dan Baitul Mal Aceh.
Qanun Nomor 10/2007 tentang Baitul Mal, menyebutkan bahwa tingkatan Baitul Mal adalah Baitul Mal Gampong, Baitul Mal Kemukiman, Baitul Mal Kabupaten/Kota dan Baitul Mal Aceh. Kesemua Baitul Mal mempunyai kewenangan yang jelas, baik menyangkut wilayah, pemungutan zakat dan harta agama, sedangkan Baitul Mal kemukiman mengurus harta agama tingkat kemukiman.
Dukungan dari pemerintah pusat untuk perkembangan Lembaga zakat di Aceh ditunjukkan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Keistimewaan Aceh, di mana Baitul Mal Aceh termasuk dalam satu dari empat Lembaga Keistimewaan Aceh, selain Majelis Permusyaratan Ulama (MPU), Majelis Adat Aceh (MAA), dan MPD. Permendagri membentuk sekretariat yang bertugas memfasilitasi kegiatan lembaga keistimewaan Aceh yang bersumber dari dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Implimentasi Permendagri tersebut diatur dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 33 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Lembaga Keistimewaan Aceh. Untuk kabupaten/kota, pemerintah pusat juga menetapkan Permendagri Nomor 37 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Kerja Lembaga Keistimewaan Aceh untuk Kabupaten/Kota.[]