Kembali dalam Pesona Ilalang Park
Apakabar rekan steemian?
PEKAN lalu masih dalam suasana lebaran. Saya dan keluarga besar lainnya ingin mendaki Bukit Barbate, Blang Bintang di Aceh Besar. Maklum menikmati suasana lebaran. Anak-anak juga ingin bermain-main. Sebelum waktu masuk sekolah tiba. Karena itu, mereka ingin puas bermain-main. Lebih tepatnya berwisata.
Maka kami pun sepakat untuk naik ke Barbate lagi. Ini untuk kesekian kalinya kami ke sana. Sepanjang jalan, rencana tempat yang dikunjung pun dibahas. Ada banyak pilihan. Taman Pelangi, Waroeng Sangkar, Barbate Hill, Kebun Kurma, Bukit Bintang dan Ilalang Park. Dari sederet destinasi, ternyata anak-anak ingin ke Waroeng Sangkar. Alasannya sudah lama tidak ke sana.
Pintu masuk Ilalang Park
Kami pun segera tancap gas ke lokasi. Sayangnya, destinasi itu masih tutup seperti Taman Pelangi dan Waroeng Sangkar. Kedua objek bermain itu berdampingan. Kami pun putar haluan. Kembali ke lokasi lain. Namun anak-anak tak ingin ke Kebun Kurma. Meski di sana ada wahana seperti mainan kereta api, motor ATV, memanah, berkuda dan sejumlah permainan lainnya.
Ternyata hal itu tidak mengundang selera Ghazi dan Gulfam (Duo Ge). Kami pun tak sudi mampir di Kebun Kurma yang makin rimbun dan berpandangan Timur Tengah. Akhirnya, keputusan membulat. Seperti bola senter. Kami pun menuju ke Ilalang Park. Lokasinya masih satu jalur di jalan Banda Aceh Krueng Raya. Hanya saja destinasi ini ada di bukit radar.
Kami pun segera melaju. Ada tanjakan di jalan masuk nan sempit. Cukup untuk satu mobil. Bila selisih di jalan, satu mobil wajib berhenti ke pinggir habis. Setelah itu jalannya kembali mendaki. Sepanjang jalan sempit yang kami lewati, kiri kanan penuh tanaman hutan. Termasuk rimbun. Juga rumput yang tumbuh tinggi-tinggi. Mungkin inilah yang dimaksud ilalang.
Sepanjang jalan memang sepi. Hingga ke persimpangan tetap tidak adak mobil yang keluar masuk. Baru di ujung jalan berbatuan, di sana ada satu mobil putih. Melihat gelagat, sepertinya mereka ragu. Ragu benar jalan menuju ke Ilalang. Kami pun langsung ambil alih jalan. Baru dia mengekori. Ikut kami. Jelas supirnya tak ragu lagi.
Tiba di lokasi memang sudah masuk waktu shalat Ashar. Belum banyak mobil yang terparkir. Hanya ada lima mobil saja. Mungkin, karena masih suasana hari raya, jadi sepi. Sepi, karena cafe belum masuk pekerja. Atau sebaliknya.
Di lokasi sudah ada keluarga-keluarga yang menikmati cemilan dan minuman ke sukaan. Tapi belum ada yang duduk di pelataran. Pelataran masih kosong, baik di kursi kayu atau pun di halaman berrumput sintetis.
Hanya ada beberapa meja oshin yang terisi. Kami pun melanjutkan mencari tempat. Tentu setelah membuat orderan makanan lebih dulu. Setelah bayar, baru menunggu puluhan menit hidangan akan siap. Karena cuaca masih terik, kami berteduh di bawah saung yang juga masih belum terisi.
Selepas Ashar, suasana mulai adem. Dingin menyerang. Saya tambah menggigil. Apalagi, kondisi badan juga sedang tidak baik. Efek dari sakit kerongkongan gegara buka puasa terakhir pakai yang dingin-dingin. Dampaknya sungguh bahaya. Batuk dan meriang serta sakit kepala. Ampun dah...
Sebelum jam enam sore, kami bersiap-siap pulang. Suasana sudah mulai berkabun. Senja turun perlahan. Setelah anak-anak puas foto di spot-spot instagramable, kami pun turun. Pulang. Tapi bukan mengejar senja yang sudah mulai ganti ship dengan malam.
Terima kasih sudah membaca postingan ini.
Congratulations
This post has been curated by
Team #5
@damithudaya
Thanks you for your support @damithudaya