Zakat di Zaman Rasulullah, Sebuah Ilustrasi Ketika Perang Badar dan Perang Uhud |
Kekuatan ekonomi
Peperangan Badar merupakan sebuah gambaran kekuatan ekonomi umat Islam.
Peperangan yang menghimpun 317 prajurit muslim hanya dibekali dua ekor kuda, dan tidak semua prajurit menunggangi unta sebagai kendaraan perang. Para sahabat yang terluka dalam perang Uhud pulang ke Madinah dengan berjalan kaki tanpa mengendarai kendaraan. Pada pertempuran dengan Bani Quraiyzah, jumlah kuda yang dimiliki umat Islam hanya 36 ekor kuda, sedangkan pada peperangan Hudaibiyah umat Islam hanya memiliki 200 ekor kuda perang.
Ilustrasi di atas menunjukkan kekuatan ekonomi umat Islam pada masa awal Islam masih sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari artileri yang dimiliki umat Islam dalam beberapa peperangan. Hampir semua peperangan tersebut dimenangkan umat Islam walau pada awalnya mereka nyaris kalah. Berkat pertolongan Allah, umat Islam meraih kemenangan di berbagai peperangan, sebagaimana Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 25.
Terkadang perkalian matematika dan perhitungan ekonomi membuat manusia terkecoh dalam meraih kemenangan. Manusia lebih sering bergantung kepada sebab-sebab yang tidak bisa menjamin dalam meraih kesuksesan dan meninggalkan zat yang tidak pernah binasa yaitu Allah.
Padahal Allah sudah menjelaskan kepada manusia kunci sukses itu dengan tidak bermaksiat kepada Allah dan Rasul. Karena Allah yang memenangkan Islam dalam setiap aktivitas. Jika manusia tidak dapat meraih kemenangan, berarti ada kesalahan yang diperbuat sehingga pertolongan dari Allah tidak kunjung tiba.
Model zakat
Para cendekia muslim berbeda pendapat mengenai peran pemerintah dalam mengumpulkan dan mendistribusikan zakat di Madinah. Di antara mereka ada yang mengatakan pungutan dan distribusi zakat dimulai pada masa akhir kenabian, tetapi ada juga yang mengatakan sudah dimulai sejak tahun ke 6 Hijriah.
Terdapat beberapa nas yang menyebutkan kesepakatan dengan kaum Anshar pada perjanjian di ‘Aqaba mengenai kewajibkan zakat. Namun kewajiban tersebut dianggap sebagai kewajiban individu yang juga dapat dimaknai sebagai pemberian secara ikhlas tanpa ada ketentuan dan persyaratan khusus.
Kewajiban dan ketentuan zakat diperkenalkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau mengutus sahabat untuk mengumpulkan zakat dari berbagai suku. Para sahabat yang diutus tersebut diwajibkan untuk mengumpulkan zakat dari kalangan yang mampu dan kemudian membagikannya kepada fakir miskin. Baladhuri mencatat dua tanggal berbeda saat Rasululllah mengutus ‘Alab Al-Hadrami ke Bahrain untuk mengumpulkan zakat, yaitu tahun ke 6 dan 8 Hijriah.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwanya Rasulullah menugaskan sahabat untuk mengutip zakat dari masyarakat yang mampu. Dengan kata lain, petugas zakat sudah mempunyai peta kondisi sosial masyarakat baik masyarakat kaya dan masyarakat miskin. Zakat yang telah dihimpun oleh petugas langsung didistribusikan kepada asnaf yang berhak menerimanya.
Banyak catatan yang menyebutkan bahwa sebelum mengirim utusannya, Rasulullah SAW tidak hanya mengajarkan mereka tentang jumlah zakat yang harus diambil, tapi juga tentang metode analisis dan teknik pengumpulan zakat serta hal yang berkaitan dengan sikap dan tingkah laku yang harus mereka tunjukkan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam menghitung zakat, dan akan mengakibatkan komplain dari masyarakat karena kesalahan petugas.
Dari sinilah kemudian dianggap perlu untuk ditulis rincian penting yang kemudian dikirim kepada utusan untuk menghindari perselisihan dengan para pembayar zakat. Hal ini memang kemudian dilakukan dan petunjuk seperti kitab as-Sadaqa dianggap sebagai dokumen dasar yang memuat aturan dan ketentuan yang dipakai.[]
