Di Aceh, Semua Orang adalah Santri
Di Aceh, Hari Santri bukan sekadar peringatan tahunan yang jatuh setiap 22 Oktober. Di daerah yang dijuluki Serambi Mekkah ini, Hari Santri seperti perayaan identitas yang hidup di setiap jiwa masyarakatnya. Sebab di Aceh, hampir semua orang tumbuh dengan napas pesantren, dengan nilai-nilai agama yang melekat dalam keseharian.
Sejak dulu, Aceh dikenal sebagai wilayah yang menjadikan pendidikan agama sebagai dasar utama pembentukan karakter. Setiap anak yang mulai tumbuh dan sudah dianggap cukup usia untuk belajar, akan diantarkan oleh orang tuanya ke balai pengajian atau ke rumah seorang teungku atau ustadz di kampung. Di sanalah mereka belajar mengeja huruf-huruf hijaiyah, menghafal surah-surah pendek, hingga memahami dasar-dasar fikih dan akhlak.
Tradisi ini telah berlangsung turun-temurun. Tidak ada yang menganggapnya sebagai kewajiban yang berat. Justru menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga ketika anak-anaknya sudah mulai bisa mengaji, mengenal adab terhadap guru, dan menghormati orang tua. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa di Aceh, semua orang adalah santri.
Saya masih mengingat dengan jelas, bahkan sebelum masuk sekolah dasar, saya sudah belajar membaca Al-Qur’an di rumah. Setiap sore, selepas Asar, ibu mengantar saya ke rumah seorang ustadzah yang kami panggil Umi. Di sana, kami duduk bersila di atas tikar pandan, membawa kitab kecil yang mulai menguning di pinggirnya. Umi mengajarkan kami huruf demi huruf, dengan kesabaran yang tak ada batasnya. Jika salah membaca, beliau tak marah, hanya tersenyum sambil membetulkan lidah kami yang kadang keliru menyebut huruf. Dari sanalah saya belajar bahwa ilmu agama bukan sekadar hafalan, melainkan cahaya yang menuntun langkah hidup.
Kini, setiap kali tiba Hari Santri, Aceh seakan menyambutnya dengan nuansa yang istimewa. Di berbagai daerah, para santri berbaris rapi mengenakan sarung dan peci, membawa bendera, menampilkan kebanggaan sebagai penjaga ilmu dan moral bangsa. Di pesantren-pesantren, lantunan selawat bergema, doa dipanjatkan untuk para ulama dan syuhada yang telah berjuang menegakkan agama dan bangsa.
Namun di luar seremoni, makna Hari Santri di Aceh jauh lebih dalam. Ia adalah pengingat bahwa nilai-nilai kesantrian bukan hanya milik mereka yang tinggal di pesantren, tetapi milik semua masyarakat Aceh. Nilai kesederhanaan, keikhlasan, dan kecintaan pada ilmu sudah menjadi bagian dari denyut kehidupan. Dari desa ke desa, dari pesisir hingga pegunungan, tradisi belajar agama tetap lestari.
Hari Santri di Aceh bukan sekadar perayaan — ia adalah refleksi dari jati diri. Bahwa menjadi santri bukan hanya soal pakaian, bukan hanya soal kitab dan pondok, tetapi tentang cara hidup yang berpegang pada nilai-nilai Islam yang damai dan beradab.
Karena itu, saat seluruh Indonesia memperingati Hari Santri, Aceh merayakannya dengan kebanggaan yang tulus: kebanggaan sebagai daerah di mana setiap anak tumbuh dalam bimbingan ilmu agama, dan setiap orang — dalam hatinya — adalah santri sejati.