Memetik cabe rawit di kebun
Hari raya kedua yang bertepatan dengan hari Selasa tanggal satu April tahun 2025 yang lalu saya dan keluarga pergi berhari raya ke kampung almarhumah ibu saya di daerah Pante Pisang kabupaten Bireuen. Sebenarnya tidak ada lagi saudara saya yang tersisa di sana karena semuanya telah meninggal dunia. Yang tersisa hanyalah tanah kebun dan tanah sawah yang digarap oleh orang lain tanpa adanya sewa tanah. Para penggarap tanah hanya mengirimkan sedikit hasil panennya bila masa panen telah tiba. Sebenarnya tujuan lain kami datang berkunjung adalah untuk ziarah ke kuburan kakek saya yang berada di halaman sebelah kanan mesjid kampung Pante Pisang.
Selesai berziarah di makam kakek , saya seger menuju ke kebun saya yang terletak tidak jauh dari mesjid kampung Pante Pisang. Jaraknya sekitar dua ratus meter dari mesjid. Sesampai d kebun saya melihat suasana lingkungan yang terlihat sangat hijau dan membuat mata saya menjadi sangat sejuk. Udara di sini juga sangat segar dikarenakan banyaknya tanaman yang tumbuh. Ternyata tinggal di desa sangat nyaman jauh dari kebisingan dan jauh dari pencemaran udara.
Di kebun saya ada ditanami pohon cabe rawit yang terlihat banyak yang sudah berbuah bahkan ada yang sudah matang di pohon dalam arti kata telah berubah warna menjadi merah. Biasanya cabe rawit dipanen ketika warna buahnya masih hijau karena bila dipanen ketika warnanya sudah menjadi merah rasanya tidak terasa pedas yang menggigit lagi.
Kebetulan saya adalah seseorang yang sangat menyukai rasa ekstra pedas karena menurut saya rasa pedas itu nikmat sekali.Oleh karena itu saya segera memetik cabe-cabe rawit yang sangat menggoda tersebut walau hanya satu genggam untuk saya bawa pulang sebagai oleh-oleh.
Inilah penampakan dari tanaman - tanaman cabe rawit yang terlihat buahnya telah matang alias telah menjadi merah. Tanaman cabe rawit tidak tinggi sehingga sangat mudah memetik buahnya. Tingginya hanya berkisar sekitar setengah meter saja dan sangat cocok dibudayakan di daerah Aceh berhubung masyarakat Aceh sangat menyukai rasa pedas yang menyengat lidah. Apalagi menurut saya segala jenis masakan Aceh bila bumbunya tidak dipakai cabe rawit maka seperti ada yang kurang alias tidak terlalu menyengat rasanya. Umumnya segala macam masakan berkuah di Aceh memakai cabe rawit.
Di kebun saya disamping ditanami tanaman-tanaman palawija yang berumur pendek seperti tanaman cabe rawit juga ditanami tanaman tahunan seperti tanaman kelapa dan tanaman jeruk Bali. Juga ada tanaman pisang. Ketika memasuki bulan Ramadhan kemarin orang yang menggarap tanah saya menanami tanaman buah timun suri yang sangat disukai oleh masyarakat untuk disantap ketika berbuka puasa. Saya melihat ada beberapa tanaman timun suri yang tersisa dari pemanenan.
Puas berkeliling di kebun saya saya segera mendekat ke jambo kecil yang terletak di tengah kebun. Jambo adalah istilah dalam bahasa Aceh untuk menyebutkan bangunan kecil darurat tempat bersantai di suatu tempat.Jambo tersebut dibuat dari kayu dan rotan serta atapnya dibuat dari daun kelapa sehingga terasa sangat dingin. Enak juga berleha-leha di atas jambo sambil menikmati pemandangan tanaman-tanaman yang tumbuh hijau di sekitar pondok. Saya duduk sambil menikmati nostalgia masa kanak-kanak ketika kakek dan nenek saya masih hidup dulu saya sering pulang ke kampung ini namun saat ini semuanya telah berpulang ke Rahmatullah. Semoga almarhum kakek dan nenek saya mendapat kan tempat yang layak di sisiNya. Amin.
Selesai beristirahat sejenak sayapun meninggalkan kampung tersebut untuk bersilaturahmi ke tempat teman saya di Bireuen sambil menikmati keindahan kota Bireuen. Sekian.
Upvoted! Thank you for supporting witness @jswit.
Curated by @okere-blessing
Thank you.