SLC-S24/W3 - Powerful Debate | Love & Arguments
- Ketika cinta tersandung, diam lah yang menjadi bersalah
Dalam sebuah hubungan, cinta tak selalu berjalan mulus. Ada kalanya rasa itu tersandung oleh salah paham, baik oleh ego ataupun dengan kata-kata yang tak pernah terucap. Dan saat itu terjadi, sering kali bukan amarah yang menghancurkan, melainkan diam yang perlahan-lahan meretakkan segalanya.
Diam memang terlihat tenang, tapi di dalamnya biasanya tersimpan ribuan tanya, ketidakpastian bahkan luka yang dalam. Ketidak dua hati memilih untuk diam di tengah masalah, yang terjadi bukan penyelesaian, melainkan penumpukan emosi yang tak tersalurkan. Satu menunggu untuk dipahami, yang lainnya menunggu di ajak bicara. Namun tak satu pun memulai. Makan jadilah diam sebagai terdakwa utama saat cinta mulai kehilangan arah.
Padahal tak ada hubungan yang tak pernah diuji. Semua cinta pasti melewati badai. Namun yang membedakan kuat atau tidaknya sebuah hubungan adalah bagaimana dua hati ini memilih untuk menghadapi badai tersebut. Apakah mereka saling menjauh dan membungkam diri, atau justru saling mendekat dan membuka ruang untuk berbicara.
Ketika cinta tersandung, kata-kata sederhana seperti kata maaf, aku rindu atau kita bicarakan baik-baik dan itu bisa menjadi jembatan untuk menyelamatkan semuanya. Tapi ketika semua itu ditelan oleh keheningan, maka dima perlahan berubah menjadi jarak. Dan dari jarak lahirlah perpisahan.
Jadi jika cinta ini masih ada jangan biarkan diam menjadi penghalang. Berbicaralah meski hanya dengan satu kalimat yang tulus. Karena cinta tidak butuh kesempurnaan, ia hanya butuh keberanian untuk tetap saling menggenggam meski sedang tersandung.
- Haruskah laki-laki yang meminta maaf, atau orang yang menyadari rasa sakit yang ditimbulkan?
Dalam hubungan apapun baik itu cinta, persahabatan maupun keluarga buka soal siapa yang meminta maaf, tetapi siapa yang lebih dulu menyadari luka yang telah ditimbulkan. Meminta maaf bukan tentang gengsi atau soal siapa yang harus mengalah, melainkan tentang keberanian dan ketulusan untuk menjaga hati orang lain.
Sering kali dalam budaya kita, ada tekanan tak tertulis bahwa laki-laki yang harus lebih dulu meminta maaf semua menjaga hubungan. Tapi sejatinya yang bertanggungjawab meminta maaf adalah mereka yang sadar telah menyakiti, meskipun tanpa niat. Karena luka, sekecil apapun jika dibiarkan bisa tumbuh menjadi jarak.
Meminta maaf bukan berati kalah. Justru itu tanda kedewasaan dan keberanian untuk merendahkan ego demi kebaikan bersama pasangan kita. Dan bila kedua pihak sama-sama menyadari kesalahan masing-masing dan saling meminta maaf dan memaafkan adalah bentuk cinta yang paling dewasa.
Jadi bukan laki-laki atau perempuan yang harus meminta maaf, tetapi mereka yang lebih dulu sadar bahwa ada hati yang sedang tidak baik-baik saja. Sebab cinta tumbuh subur dalam kejujuran bukan dalam diam dan gengsi.
- gagasan bahwa selalu suami yang meminta maaf: sebuah tanda cinta atau harapan yang tidak adil?
Dalam banyak hubungan rumah tangga terkadang ada tanggapan bahwa suami harus selalu meminta maaf lebih dulu, bahkan ketika kesalahan bukan sepenuhnya miliknya. Sebagian melihat ini sebagai tanda cinta dan tanggung jawab, bahkan sekarang suami adalah pemimpin yang harus meredam konflik demi keharmonisan. Namun jika dilihat dari sisi lain, gagasan ini bisa menjadi harapan yang tidak stabil.
Cinta sejati tumbuh dari kejujuran, kesejahteraan dan saling menghargai. Ketika salah satu pihak misalnya dalam hal ini baik suami terus menerus memikul beban untuk selalu mengalah dan meminta maaf, lama-lama hubungan bisa menjadi timpang. Memaafkan adalah kekuatan akan tetapi menyadari kesalahan dan minta maaf adalah bentuk kedewasaan dari siapapun, bukan hanya suami.
Hubungan yang sehat adalah ketika kedua pasangan sama-sama bertanggungjawab atas kaga dan tindakan. Jika seorang istri yang bersalah tidak adalah salahnya ia juga meminta maaf lebih dulu. Dengan begitu cinta tidak menjadi beban satu pihak, melainkan kerja sama sua hati yang saling menguatkan. Maka, yang kita butuhkan bukan siapa yang lebih dulu minta maaf, tapi siapa yang lebih dulu sadar dan tulus untuk memperbaikinya.
- gagasan bahwa selalu suami yang meminta maaf: sebuah tanda cinta atau harapan yang tidak adil?
Gagasan bahwa suami harus selalu meminta maaf bisa dianggap sebagai tanda cinta, tapi juga berpotensi menjadi harapan yang tidak adil. Dalam hubungan yang sehat, tanggung jawab untuk meminta maaf seharusnya tidak dibebankan hanya kepada satu pihak. Cinta buka soal siapa yang mengalah lebih dulu, melainkan tangan kesadaran dan kejujuran untuk mengakui kesalahan. Jika hanya seorang suami yang terus meminta maaf, hubungan bisa kehilangan keseimbangan. Oleh karena itu idealnya baik suami maupun istri harus sama-sama dewasa dan berani memperbaiki ketika ada yang terluka.
Demikian yang dapat saya bagikan dalam edisi kontes yang menarik ini dan turut mengundang @ulfatulrahmah, @lirvic dan @marito74. Salam sukses untuk kita semua.
Regard @fajrulakmal99